Mereka adalah penjaga pintu air yang kerap kali menuai cacian ketimbang pujian. Padahal, mereka harus mempertaruhkan nyawa jika tiba-tiba muncul limpahan air dari hulu disertai air laut pasang.
”Rumah saya sekitar tiga kilometer dari sini (tempat kerja). Kalau banjir seperti ini, rumah saya pasti ikut kebanjiran,” tutur Suherman (40), penjaga Pintu Air Cengkareng Drain, Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat.
Sabtu (27/12/2014) pukul 14.00 siang, hujan sempat reda setelah beberapa jam mengguyur Jakarta. Ayah dua anak ini bisa bernapas sedikit lega. Dipijitnya tombol telepon selulernya lalu ia mengirimkan pesan singkat kepada istri yang hanya berdua dengan anak keduanya, Asep Maulana (8), di rumah yang berada di RT 012 RW 017 Cengkareng Timur.
Setelah memastikan situasi aman, ia pun membuka bungkusan nasi yang sebenarnya dibeli untuk sarapan. Sepotong dada ayam menjadi lauknya hari itu. Namun, baru beberapa suap, ia hentikan aktivitas makannya. ”Rasa laparnya sudah keburu lewat,” tuturnya.
Selain telah terlalu siang, hari itu, pria asal Purwakarta ini mendapat ”kunjungan” warga yang membuyarkan selera makannya. Sekitar 30 warga RW 012 mendatangi Suherman
karena rumah mereka kebanjiran.
Warga menuduh Suherman hanya berdiam diri melihat air yang semakin meninggi. Padahal, kata Suherman, selain debit air memang tinggi, banjir juga disebabkan limpahan air tidak ditahan dari pintu air yang lain.
”Kalau cuma didatangi warga sih sering. Saya malah pernah dilempari batu dan botol. Katanya saya tidak kerja. Mereka tidak paham kalau malam-malam mesin pompa rusak karena sampah, saya harus ngos-ngosan menyelam untuk memperbaikinya,” tutur Suherman.
Suherman, ”pegawai” satu-satunya di rumah pompa dan pintu air itu harus bekerja siang dan malam. Ia hanya berkesempatan pulang ke rumahnya pada Jumat malam. Itu pun tak lama, karena dia harus segera kembali lagi ke ”rumah” keduanya.
Rutinitas seperti itu ia lakoni selama lima tahun terakhir. Meski begitu, ia tidak ingin meninggalkan tanggung jawabnya. Menurut dia, pekerjaan ini bisa menyelamatkan banyak orang dari ancaman banjir.
Eko Sukma (29) pun bernasib sama, meski tugasnya boleh dibilang lebih enteng. Penanggung jawab Rumah Pompa Sindang, Koja, Jakarta Utara, ini masih sempat pulang ke rumahnya. Ia memiliki empat rekan yang bisa saling bergantian.
”Tapi, kalau hujan deras, ya, kami tidak bisa pulang. Takutnya teman yang lain kewalahan tangani banjir,” katanya. Koja adalah salah satu titik banjir terparah di Jakarta Utara.
Sudah hampir sepuluh tahun bekerja, statusnya sebagai pegawai honorer belum juga berubah. Eko memang telah diumumkan lolos sebagai CPNS pada 2013, tetapi sampai saat ini belum ada kejelasan. Setiap bulan, Eko dan rekan-rekannya sesama honorer digaji Rp 2,4 juta, sesuai dengan UMP Jakarta.
Sudah pas-pasan, pembayarannya pun per triwulan. Pinjaman di koperasi dan utang kepada keluarga jadi katup pengaman.
Risiko tugas dan kesejahteraan keluarga mereka rupanya tak berbanding lurus. (Saiful Rijal Yunus)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.