Oleh: Ratih P Sudarsono
Saat melintasi Jalan Raya Puncak, Bogor, tepatnya di Km 83, coba tengok di sisi utara jalan itu. Ada dua pasang patung warna merah jambu, yang tiap pasangnya terhubung oleh batang putih beralur.
Marilah sejenak mencari tahu latar belakang keberadaannya, di sela kegembiraan kita berada di Puncak, kawasan wisata favorit di Jawa Barat.
Dua pasang patung itu melambangkan paru-paru dan menjadi ikon Rumah Sakit Paru Dokter Mas Goenawan Partowidigdo atau RSPG. Ini adalah rumah sakit rujukan utama khusus penyakit paru dan tuberkulosis.
Rumah sakit di tepi jalan strategis di Desa Cibeureum, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, ini sudah ada sejak tahun 1914 semasa kolonial Belanda. Namun, cikal bakalnya dipelopori misionaris asal Amerika. Mereka adalah utusan Methodist Episcopal Chuck of America yang datang ke Indonesia tahun 1900. Rumah sakitnya diberi nama Methodist Sending Hospital.
Para misionaris yang juga pekerja kemanusiaan tersebut kala itu menangani pasien kecanduan opium. Saat itu, banyak demang dan tokoh masyarakat lokal kecanduan opium.
”Saya pikir, pejabat kolonial ada yang kecanduan juga. Tetapi, mungkin tidak banyak. Sebab, pemerintah kolonial kemudian membubarkan rumah sakit dan mengusir mereka dari Indonesia. Tentu pemerintah kolonial tidak suka kalau tokoh masyarakat lokal sehat dari kecanduan opium. Untuk melemahkan perjuangan, dicekokilah dengan opium,” tutur Direktur Utama RSPG Wuwuh Utami Ningtiyas, awal pekan lalu.
Pemerintah kolonial menghentikan semua kegiatan rumah sakit dan mengusir para misionaris, dokter, dan perawatnya keluar dari Pulau Jawa pada 1927. Rumah sakit itu berlokasi di lahan perkebunan yang dipinjamkan Bruno Thedourus Bik. Tuan tanah ini memiliki perkebunan teh, kopi, serai, dan kina di Cisarua.
Setelah orang-orang Amerika diusir, bekas rumah sakitnya sempat telantar dan dipakai untuk mengisolasi masyarakat berpenyakit tuberkulosis. Sekitar 10 tahun kemudian, pemerintah kolonial meresmikan Sanatorium vor Lunlojders Tjisaroea atau Sanatorium Penyakit Paru Tjisarua.
Bangunan awal dari kayu dirobohkan diganti tembok dengan jendela-jendela kaca sebagaimana yang kini masih kokoh berdiri di kompleks RSPG.
Bangunan rumah sakit paru pertama itu masih dalam kondisi baik dan disiapkan untuk dijadikan museum dan perpustakaan terkait dengan perjalanan RSPG serta kepustakaan kesehatan, khususnya terkait kesehatan paru. Pengumpulan benda-benda bersejarah terkait fasilitas dan kerja para dokter dan perawatnya tidak mudah.
”Sebab, zaman dulu penyakit tuberkulosis masih belum ada obatnya dan sangat menular sehingga peralatan yang sudah tidak digunakan dibakar ataupun dimusnahkan. Selain itu, karena peralatannya besar-besar, seperti mesin rontgen dan mesin cuci, setelah rusak, kemungkinan juga dibuang entah ke mana. Kesadaran kami akan bukti sejarah penting ini memang baru tumbuh tahun belakangan ini,” papar Kepala Instalasi Pengelola Informasi dan Dokumentasi RSPG Iwan Ridwanullah.
Atasi wabah
Pemerintah kolonial mendirikan dan membangun Sanatorium Cisarua karena saat itu banyak masyarakat terjangkit tuberkulosa akibat kekurangan pangan, sandang, papan, dan kebutuhan hidup lainnya. Penyakit ini semakin mewabah akibat Perang Dunia I (1914-1918). Tentu pemerintah kolonial Belanda khawatir tertular juga. Belum lagi ditemukan obat mujarab untuk mengatasinya, meletus Perang Dunia II (1938-1945).
Dipilihlah Desa Cibeureum di Cisarua sebagai lokasinya karena pada umumnya sanatorium didirikan di daerah yang udaranya bersih, segar, dingin, seperti di perbukitan dan tepi pantai.