Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengabdian Tulus Dokter dan Perawat

Kompas.com - 01/08/2016, 16:18 WIB

Oleh: Ratih P Sudarsono

Saat melintasi Jalan Raya Puncak, Bogor, tepatnya di Km 83, coba tengok di sisi utara jalan itu. Ada dua pasang patung warna merah jambu, yang tiap pasangnya terhubung oleh batang putih beralur.

Marilah sejenak mencari tahu latar belakang keberadaannya, di sela kegembiraan kita berada di Puncak, kawasan wisata favorit di Jawa Barat.

Dua pasang patung itu melambangkan paru-paru dan menjadi ikon Rumah Sakit Paru Dokter Mas Goenawan Partowidigdo atau RSPG. Ini adalah rumah sakit rujukan utama khusus penyakit paru dan tuberkulosis.

Rumah sakit di tepi jalan strategis di Desa Cibeureum, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, ini sudah ada sejak tahun 1914 semasa kolonial Belanda. Namun, cikal bakalnya dipelopori misionaris asal Amerika. Mereka adalah utusan Methodist Episcopal Chuck of America yang datang ke Indonesia tahun 1900. Rumah sakitnya diberi nama Methodist Sending Hospital.

Para misionaris yang juga pekerja kemanusiaan tersebut kala itu menangani pasien kecanduan opium. Saat itu, banyak demang dan tokoh masyarakat lokal kecanduan opium.

”Saya pikir, pejabat kolonial ada yang kecanduan juga. Tetapi, mungkin tidak banyak. Sebab, pemerintah kolonial kemudian membubarkan rumah sakit dan mengusir mereka dari Indonesia. Tentu pemerintah kolonial tidak suka kalau tokoh masyarakat lokal sehat dari kecanduan opium. Untuk melemahkan perjuangan, dicekokilah dengan opium,” tutur Direktur Utama RSPG Wuwuh Utami Ningtiyas, awal pekan lalu.

Pemerintah kolonial menghentikan semua kegiatan rumah sakit dan mengusir para misionaris, dokter, dan perawatnya keluar dari Pulau Jawa pada 1927. Rumah sakit itu berlokasi di lahan perkebunan yang dipinjamkan Bruno Thedourus Bik. Tuan tanah ini memiliki perkebunan teh, kopi, serai, dan kina di Cisarua.

Setelah orang-orang Amerika diusir, bekas rumah sakitnya sempat telantar dan dipakai untuk mengisolasi masyarakat berpenyakit tuberkulosis. Sekitar 10 tahun kemudian, pemerintah kolonial meresmikan Sanatorium vor Lunlojders Tjisaroea atau Sanatorium Penyakit Paru Tjisarua.

Bangunan awal dari kayu dirobohkan diganti tembok dengan jendela-jendela kaca sebagaimana yang kini masih kokoh berdiri di kompleks RSPG.

Bangunan rumah sakit paru pertama itu masih dalam kondisi baik dan disiapkan untuk dijadikan museum dan perpustakaan terkait dengan perjalanan RSPG serta kepustakaan kesehatan, khususnya terkait kesehatan paru. Pengumpulan benda-benda bersejarah terkait fasilitas dan kerja para dokter dan perawatnya tidak mudah.

”Sebab, zaman dulu penyakit tuberkulosis masih belum ada obatnya dan sangat menular sehingga peralatan yang sudah tidak digunakan dibakar ataupun dimusnahkan. Selain itu, karena peralatannya besar-besar, seperti mesin rontgen dan mesin cuci, setelah rusak, kemungkinan juga dibuang entah ke mana. Kesadaran kami akan bukti sejarah penting ini memang baru tumbuh tahun belakangan ini,” papar Kepala Instalasi Pengelola Informasi dan Dokumentasi RSPG Iwan Ridwanullah.

Atasi wabah

Pemerintah kolonial mendirikan dan membangun Sanatorium Cisarua karena saat itu banyak masyarakat terjangkit tuberkulosa akibat kekurangan pangan, sandang, papan, dan kebutuhan hidup lainnya. Penyakit ini semakin mewabah akibat Perang Dunia I (1914-1918). Tentu pemerintah kolonial Belanda khawatir tertular juga. Belum lagi ditemukan obat mujarab untuk mengatasinya, meletus Perang Dunia II (1938-1945).

Dipilihlah Desa Cibeureum di Cisarua sebagai lokasinya karena pada umumnya sanatorium didirikan di daerah yang udaranya bersih, segar, dingin, seperti di perbukitan dan tepi pantai.

 Direktur sanatorium ini dokter-dokter Belanda. Baru pada tahun 1950, Sanatorium Cisarua sepenuhnya dipimpin dokter Indonesia, yakni Mas Goenawan Partowidigdo. Mas Goenawan adalah satu dari tiga dokter yang turut berkiprah di sanatorium itu sejak masa kolonial.

Kepala Bidang Medik RSPG Suarga Adam mengemukakan, pada masa-masa kolonial hingga lepas kemerdekaan tahun 1960 hingga 1980-an merupakan masa-masa sulit dalam menangani penyakit tuberkulosis dan merawat pasiennya.

Penyakit ini adalah penyakit ”masyarakat bawah atau miskin” sehingga tidak ada biaya untuk mereka berobat. Sementara, saat itu, penyebab, obat, dan pencegahan penyakit ini belum diketahui pasti. Penularannya pun mudah, bisa lewat udara.

Baru ketika ditemukan antibiotik, ada titik terang untuk mengatasi dan mematikan bakteri ataupun kuman-kuman penyakit.

”Namun, karena keterbatasan pengetahuan dan obat itu, pasien yang berobat ke sini bisa berbulan-bulan dirawat. Kemungkinan mereka bisa sembuh karena selama perawatan mereka juga diberi makanan bergizi dan menghirup udara bersih sehingga kekebalan dan antibodi tubuhnya meningkat dan mampu melawan kuman,” tutur Adam.

Dokter Mas Goenawan, lanjutnya, adalah dokter yang paling gigih meneliti dan menemukan cara merawat dan menemukan obat tuberkulosis dan kusta. Sanatorium, waktu kepemimpinan Mas Goenawan, juga menampung pasien kusta.

Dari ketekunan Mas Goenawan mencari dan mempelajari tumbuh-tumbuhan sebagai obat alternatif, selain menemukan teknik menolong dan merawat pasien paru dan kusta, akhirnya ia juga pada 1973 menemukan singkong jenis Sao Pedro Pedro (singkong SPP) yang dapat melawan dan menyembuhkan penyakit kanker. Setidaknya tercatat 11.732 pasien paru dan kanker yang berobat atau ditangani Mas Goenawan dengan pengobatan alternatif. Pasien itu bukan hanya dari Indonesia, melainkan juga dari Singapura, Selandia Baru, Australia, dan Belanda.

Rujukan terakhir

Selain menyisakan gedung cikal bakal rumah sakit dan rumah karyawan tempo dulu, di kompleks RSPG seluas hampir 7 hektar itu juga ada bekas bungker pengintai yang pernah dipakai Jepang dan Jerman serta Sekutu/NICA mengawasi Jalan Raya Puncak, jalur vital penghubung Jakarta-Bandung.

Pada 1997, mengatasi kekurangan air bersih, dibuatlah sumur bor dan penampungan air bersih di bekas bungker.

Kini, sanatorium itu statusnya meningkat menjadi rumah sakit khusus paru utama dan dipastikan tidak akan dipindah.

”Lokasi RSPG sangat strategis, menjadi incaran banyak pihak. Dulu, sebelum zaman reformasi, rumah sakit diminta tukar guling ke Gunung Salak,” kata Direktur Keuangan dan Administrasi Umum RSPG Nandang Rinaldi.

 Wuwuh Utami Ningtiyas memastikan RSPG sudah bersertifikat ISO 9001-2008 sejak 2012. Di kompleks RSPG juga ada fasilitas vila dan ruang pertemuan yang dapat digunakan masyarakat umum untuk menginap ataupun melangsungkan keriaan.

”Namun, kami belum berniat mengembangkan fasilitas penginapan. Fokus kami meningkatkan fasilitas pelayanan kesehatan dan rumah sakit. Sebab, kami rumah sakit rujukan akhir untuk penyakit paru. Kami harus mampu dan unggul di spesialisasi itu. Sebab, kalau pasien paru sudah dirujuk ke sini, kami tidak bisa merujuk ke rumah sakit lainnya,” tutur Utami.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Agustus 2016, di halaman 28 dengan judul "Pengabdian Tulus Dokter dan Perawat".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Heru Budi: Siapa Pun Gubernur Selanjutnya, Jakarta Harus Unggul dari Kota-kota Lainnya di Dunia

Heru Budi: Siapa Pun Gubernur Selanjutnya, Jakarta Harus Unggul dari Kota-kota Lainnya di Dunia

Megapolitan
Heru Budi Ingin Jakarta Gelar Banyak Acara Menarik untuk Pikat Masyarakat Dunia

Heru Budi Ingin Jakarta Gelar Banyak Acara Menarik untuk Pikat Masyarakat Dunia

Megapolitan
PSI Klaim Terima Masukan Masyarakat untuk Usung Kaesang di Pilkada Bekasi

PSI Klaim Terima Masukan Masyarakat untuk Usung Kaesang di Pilkada Bekasi

Megapolitan
Salim Said Akan Dimakamkan di TPU Tanah Kusir Siang Ini, Satu Liang Lahad dengan Ibunda

Salim Said Akan Dimakamkan di TPU Tanah Kusir Siang Ini, Satu Liang Lahad dengan Ibunda

Megapolitan
Pencanangan HUT ke-497 Jakarta, Heru Budi Bagi-bagi Sepeda ke Warga

Pencanangan HUT ke-497 Jakarta, Heru Budi Bagi-bagi Sepeda ke Warga

Megapolitan
Heru Budi Umumkan 'Jakarta International Marathon', Atlet Dunia Boleh Ikut

Heru Budi Umumkan "Jakarta International Marathon", Atlet Dunia Boleh Ikut

Megapolitan
Pencanangan HUT ke-497 Kota Jakarta, Masyarakat Menyemut di Kawasan Bundaran HI sejak Pagi

Pencanangan HUT ke-497 Kota Jakarta, Masyarakat Menyemut di Kawasan Bundaran HI sejak Pagi

Megapolitan
Beda Nasib Epy Kusnandar dan Yogi Gamblez di Kasus Narkoba: Satu Direhabilitasi, Satu Ditahan

Beda Nasib Epy Kusnandar dan Yogi Gamblez di Kasus Narkoba: Satu Direhabilitasi, Satu Ditahan

Megapolitan
Simak Penyesuaian Jadwal Transjakarta, MRT, LRT, dan KRL Selama Pencanangan HUT ke-497 Jakarta Hari Ini

Simak Penyesuaian Jadwal Transjakarta, MRT, LRT, dan KRL Selama Pencanangan HUT ke-497 Jakarta Hari Ini

Megapolitan
Catat, Ini 41 Kantong Parkir Saat Acara Pencanangan HUT ke-497 Jakarta di Bundaran HI

Catat, Ini 41 Kantong Parkir Saat Acara Pencanangan HUT ke-497 Jakarta di Bundaran HI

Megapolitan
Pencanangan HUT ke-497 Jakarta di Bundaran HI Hari Ini, Simak Rekayasa Lalu Lintas Berikut

Pencanangan HUT ke-497 Jakarta di Bundaran HI Hari Ini, Simak Rekayasa Lalu Lintas Berikut

Megapolitan
Aksi Nekat Pelaku Curanmor di Bekasi: Beraksi di Siang Hari dan Lepaskan Tembakan Tiga Kali

Aksi Nekat Pelaku Curanmor di Bekasi: Beraksi di Siang Hari dan Lepaskan Tembakan Tiga Kali

Megapolitan
Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Minggu 19 Mei 2024, dan Besok : Tengah Malam ini Cerah Berawan

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Minggu 19 Mei 2024, dan Besok : Tengah Malam ini Cerah Berawan

Megapolitan
Rute KA Kertajaya, Tarif dan Jadwalnya 2024

Rute KA Kertajaya, Tarif dan Jadwalnya 2024

Megapolitan
Detik-detik Penjambret Ponsel di Jaksel Ditangkap Warga: Baru Kabur 100 Meter, Tapi Kena Macet

Detik-detik Penjambret Ponsel di Jaksel Ditangkap Warga: Baru Kabur 100 Meter, Tapi Kena Macet

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com