Direktur sanatorium ini dokter-dokter Belanda. Baru pada tahun 1950, Sanatorium Cisarua sepenuhnya dipimpin dokter Indonesia, yakni Mas Goenawan Partowidigdo. Mas Goenawan adalah satu dari tiga dokter yang turut berkiprah di sanatorium itu sejak masa kolonial.
Kepala Bidang Medik RSPG Suarga Adam mengemukakan, pada masa-masa kolonial hingga lepas kemerdekaan tahun 1960 hingga 1980-an merupakan masa-masa sulit dalam menangani penyakit tuberkulosis dan merawat pasiennya.
Penyakit ini adalah penyakit ”masyarakat bawah atau miskin” sehingga tidak ada biaya untuk mereka berobat. Sementara, saat itu, penyebab, obat, dan pencegahan penyakit ini belum diketahui pasti. Penularannya pun mudah, bisa lewat udara.
Baru ketika ditemukan antibiotik, ada titik terang untuk mengatasi dan mematikan bakteri ataupun kuman-kuman penyakit.
”Namun, karena keterbatasan pengetahuan dan obat itu, pasien yang berobat ke sini bisa berbulan-bulan dirawat. Kemungkinan mereka bisa sembuh karena selama perawatan mereka juga diberi makanan bergizi dan menghirup udara bersih sehingga kekebalan dan antibodi tubuhnya meningkat dan mampu melawan kuman,” tutur Adam.
Dokter Mas Goenawan, lanjutnya, adalah dokter yang paling gigih meneliti dan menemukan cara merawat dan menemukan obat tuberkulosis dan kusta. Sanatorium, waktu kepemimpinan Mas Goenawan, juga menampung pasien kusta.
Dari ketekunan Mas Goenawan mencari dan mempelajari tumbuh-tumbuhan sebagai obat alternatif, selain menemukan teknik menolong dan merawat pasien paru dan kusta, akhirnya ia juga pada 1973 menemukan singkong jenis Sao Pedro Pedro (singkong SPP) yang dapat melawan dan menyembuhkan penyakit kanker. Setidaknya tercatat 11.732 pasien paru dan kanker yang berobat atau ditangani Mas Goenawan dengan pengobatan alternatif. Pasien itu bukan hanya dari Indonesia, melainkan juga dari Singapura, Selandia Baru, Australia, dan Belanda.
Rujukan terakhir
Selain menyisakan gedung cikal bakal rumah sakit dan rumah karyawan tempo dulu, di kompleks RSPG seluas hampir 7 hektar itu juga ada bekas bungker pengintai yang pernah dipakai Jepang dan Jerman serta Sekutu/NICA mengawasi Jalan Raya Puncak, jalur vital penghubung Jakarta-Bandung.
Pada 1997, mengatasi kekurangan air bersih, dibuatlah sumur bor dan penampungan air bersih di bekas bungker.
Kini, sanatorium itu statusnya meningkat menjadi rumah sakit khusus paru utama dan dipastikan tidak akan dipindah.
”Lokasi RSPG sangat strategis, menjadi incaran banyak pihak. Dulu, sebelum zaman reformasi, rumah sakit diminta tukar guling ke Gunung Salak,” kata Direktur Keuangan dan Administrasi Umum RSPG Nandang Rinaldi.
Wuwuh Utami Ningtiyas memastikan RSPG sudah bersertifikat ISO 9001-2008 sejak 2012. Di kompleks RSPG juga ada fasilitas vila dan ruang pertemuan yang dapat digunakan masyarakat umum untuk menginap ataupun melangsungkan keriaan.
”Namun, kami belum berniat mengembangkan fasilitas penginapan. Fokus kami meningkatkan fasilitas pelayanan kesehatan dan rumah sakit. Sebab, kami rumah sakit rujukan akhir untuk penyakit paru. Kami harus mampu dan unggul di spesialisasi itu. Sebab, kalau pasien paru sudah dirujuk ke sini, kami tidak bisa merujuk ke rumah sakit lainnya,” tutur Utami.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Agustus 2016, di halaman 28 dengan judul "Pengabdian Tulus Dokter dan Perawat".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.