TANGERANG, KOMPAS.com - Pengadilan Tinggi Banten disebut telah menolak permohonan banding RA (16), terpidana pembunuh karyawati EF (19) dengan pacul, di Kosambi, Kabupaten Tangerang. Hal itu diungkapkan oleh salah satu kuasa hukum RA, Alfan Sari, ketika berbincang dengan Kompas.com, Jumat (9/9/2016) siang.
"Jadi, banding kami dikalahkan per 1 Agustus 2016 lalu dan sudah inkracht (in kracht van gewijsde). Tapi, kami heran, karena kami tidak pernah tahu sampai di mana proses banding tersebut berjalan. Tahu-tahu, kami dikabari lewat orangtua RA seperti itu," kata Alfan.
Pihak RA mengajukan banding atas putusan majelis hakim peradilan anak di Pengadilan Negeri Tangerang yang menjatuhkan vonis sepuluh tahun penjara pada 16 Juni 2016. Oleh majelis hakim, RA dinyatakan memenuhi unsur tindak pidana pembunuhan berencana dan terbukti membunuh EF di kamar mes karyawan PT Polyta Global Mandiri, Mei 2016 lalu.
Alfan mengungkapkan, sebagai kuasa hukum yang mendampingi RA, dia merasa pihak Pengadilan Tinggi tidak adil. Hal itu dikarenakan tidak adanya salinan putusan untuk kuasa hukum, bahkan hingga terakhir memori banding dikirim ke Pengadilan Tinggi Banten.
"Kami tidak diberikan salinan putusan sampai saat ini dengan berbagai alasan yang tak masuk akal," tutur Alfan.
Menanggapi kondisi seperti itu, Alfan dan pihak RA sepakat mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Proses permohonan PK hingga saat ini sedang ditempuh oleh kuasa hukum.
"Kami pastikan, tetap memperjuangkan hak-hak RA hingga PK. Ini bukan masalah menang atau kalah, tetapi kami ingin penegakkan hukum ada pada tempatnya," ujar Alfan.
RA dikenakan hukuman maksimal bagi terdakwa anak di bawah umur, yakni hukuman penjara sepuluh tahun, dengan Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pembunuhan Berencana sebagai pasal primer dengan ancaman hukuman maksimal hukuman mati.
Namun, mengingat RA masih di bawah umur saat divonis, dan ketentuan pengenaan hukuman didasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, ada pengecualian yang membuat terdakwa hanya dapat setengah dari ancaman hukuman maksimal orang dewasa, yakni sepuluh tahun.