Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasal yang Disangkakan ke Ahok Rawan Dipolitisasi

Kompas.com - 07/12/2016, 19:15 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Pendiri dan peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti, berpandangan, ada masalah mendasar pada pasal penistaan agama.

Bivitri menilai, Pasal 156 dan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak layak digunakan dan mudah dijadikan alat kepentingan politik.

"Menurut saya, ada masalah mendasar pada pasal penistaan itu. Pasal itu tidak layak digunakan, terlalu karet dan terlalu mudah dijadikan alat kepentingan politik," ujar Bivitri saat dihubungi wartawan, Rabu (17/12/2016).

Ia tidak mau menilai layak tidaknya pasal tersebut diterapkan kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang kini sudah menyandang tersangka kasus penistaan agama.

"Kalau layak tidaknya, kalau kita pakai asumsi pasal yang dipakai sudah benar, saya tidak bisa menjawab karena belum lihat bukti-bukti," katanya.

Peradilan kasus dugaan penistaan agama dengan tersangka Ahok akan berlangsung, Selasa (13/12/2016).

Bivitri menganggap cepatnya proses hukum terhadap Ahok sebagai hal biasa.

Namun, kasus Ahok tersebut terkesan melempar bola panas dari kepolisian kemudian ke kejaksaan, lalu di ujungnya pengadilan.

"Kalau dibandingkan dengan kasus lain, ini sangat cepat. Kelihatan sekali Ini karena tekanan massa dan politik," ucap Bivitri.

Diketahui, sebelum Ahok ditetapkan sebagai tersangka, berlangsung aksi unjuk rasa, Jumat (4/11/2016).

Aksi itu menuntut hukum ditegakkan dalam kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok.

Bivitri mengatakan, pengerahan massa saat sidang Ahok bisa memengaruhi situasi. (Baca: "Kasus Dugaan Penistaan Agama Jadi Beban Elektoral bagi Ahok-Djarot")

Menurut dia, semua aparat penegak hukum akan tertekan, baik jaksa maupun hakim, dengan adanya tekanan massa.

"Kita tahu sendiri tekanan massa bisa berdampak besar pada psikologis hakim," katanya.

Hal yang paling parah adalah akan memberikan tekanan terhadap para saksi di persidangan sehingga keterangannya menjadi tidak obyektif karena takut.

"Mereka bisa tidak obyektif atau yang mumpuni dan obyektif tidak mau tampil karena takut. Pandangan ahli-ahli yang kurang obyektif juga akan pengaruhi putusan," ucap Bivitri.

Meski demikian, kata dia, Ahok harus menerima apa pun keputusan majelis hakim lantaran tak ada putusan yang bisa dipandang cacat. (Baca: Pengamat Sebut Tiap Kasus Penistaan Agama Tak Bisa Disamaratakan)

Karena itu, dia meminta awasi proses dengan melibatkan Komisi Yudisial (KY) dalam sidang Ahok nanti.

"Kalau sudah ada putusan harus diterima. Paling-paling upaya hukum banding dan kasasi," tutur Bivitri. (Dennis Destryawan)

Kompas TV Inilah Lima Hakim Sidang Kasus Ahok
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Keluarga Tolak Otopsi, Korban Tewas Kebakaran Cinere Depok Langsung Dimakamkan

Keluarga Tolak Otopsi, Korban Tewas Kebakaran Cinere Depok Langsung Dimakamkan

Megapolitan
Beberapa Warga Tanah Tinggi Terpaksa Jual Rumah karena Kebutuhan Ekonomi, Kini Tinggal di Pinggir Jalan

Beberapa Warga Tanah Tinggi Terpaksa Jual Rumah karena Kebutuhan Ekonomi, Kini Tinggal di Pinggir Jalan

Megapolitan
Polisi Tewas dengan Luka Tembak di Kepala, Kapolres Jaksel Sebut karena Bunuh Diri

Polisi Tewas dengan Luka Tembak di Kepala, Kapolres Jaksel Sebut karena Bunuh Diri

Megapolitan
Polisi Dalami Dugaan Perempuan Dalam Koper di Bekasi Tewas karena Dibunuh

Polisi Dalami Dugaan Perempuan Dalam Koper di Bekasi Tewas karena Dibunuh

Megapolitan
Bursa Pilkada DKI 2024, Golkar: Ridwan Kamil Sudah Diplot buat Jabar

Bursa Pilkada DKI 2024, Golkar: Ridwan Kamil Sudah Diplot buat Jabar

Megapolitan
Prioritaskan Kader Internal, Golkar Belum Jaring Nama-nama untuk Cagub DKI

Prioritaskan Kader Internal, Golkar Belum Jaring Nama-nama untuk Cagub DKI

Megapolitan
Korban Kebakaran di Depok Ditemukan Terkapar di Atas Meja Kompor

Korban Kebakaran di Depok Ditemukan Terkapar di Atas Meja Kompor

Megapolitan
Kebakaran Agen Gas dan Air di Cinere Depok, Diduga akibat Kebocoran Selang Tabung Elpiji

Kebakaran Agen Gas dan Air di Cinere Depok, Diduga akibat Kebocoran Selang Tabung Elpiji

Megapolitan
Polisi Temukan Orangtua Mayat Bayi yang Terbungkus Plastik di Tanah Abang

Polisi Temukan Orangtua Mayat Bayi yang Terbungkus Plastik di Tanah Abang

Megapolitan
PJLP Temukan Mayat Bayi Terbungkus Plastik Saat Bersihkan Sampah di KBB Tanah Abang

PJLP Temukan Mayat Bayi Terbungkus Plastik Saat Bersihkan Sampah di KBB Tanah Abang

Megapolitan
Terdengar Ledakan Saat Agen Gas dan Air di Cinere Kebakaran

Terdengar Ledakan Saat Agen Gas dan Air di Cinere Kebakaran

Megapolitan
Perbaikan Pintu Bendung Katulampa yang Jebol Diperkirakan Selesai Satu Pekan

Perbaikan Pintu Bendung Katulampa yang Jebol Diperkirakan Selesai Satu Pekan

Megapolitan
Dituduh Punya Senjata Api Ilegal, Warga Sumut Melapor ke Komnas HAM

Dituduh Punya Senjata Api Ilegal, Warga Sumut Melapor ke Komnas HAM

Megapolitan
Pemprov DKI Bakal Gratiskan Biaya Ubah Domisili Kendaraan Warga Terdampak Penonaktifan NIK

Pemprov DKI Bakal Gratiskan Biaya Ubah Domisili Kendaraan Warga Terdampak Penonaktifan NIK

Megapolitan
Amarah Pembunuh Wanita di Pulau Pari, Cekik Korban hingga Tewas karena Kesal Diminta Biaya Tambahan 'Open BO'

Amarah Pembunuh Wanita di Pulau Pari, Cekik Korban hingga Tewas karena Kesal Diminta Biaya Tambahan "Open BO"

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com