JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota tim advokasi Bhinneka Tunggal Ika-BTP, Tommy Sihotang, mengaku pasrah menghadapi sidang vonis majelis hakim terhadap terdakwa kasus dugaan penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Selasa (9/5/2017).
"Kami pasrah saja, karena enggak ada lagi peranan kami. Tinggal tunggu putusan hakim, jadi enggak ada persiapan apapun lagi," ujar Tommy, dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (29/4/2017).
Dia meminta tak ada pihak yang mengintervensi keputusan hakim karena hakim harus diberikan kebebasan dalam memutuskan perkara tersebut. Sebab, lanjut dia, hakim akan memberikan putusan sesuai bukti dan keterangan saksi dalam persidangan.
"Nah ini buktinya apa? Keyakinan apa yang dimiliki hakim?" kata Tommy.
(baca: Tak Ada Replik dan Duplik, Hakim Bacakan Vonis Ahok pada 9 Mei)
Dia menjelaskan, jaksa penuntut umum (JPU) sebelumnya tak menyatakan Ahok melakukan penodaan agama. Awalnya, jaksa mendakwa Ahok dengan pasal 156 huruf a KUHP tentang penodaan agama dan dakwaan alternatif pasal 156 KUHP tentang penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan tertentu.
Pada akhirnya, jaksa menilai Ahok melanggar pasal 156 KUHP dan menuntut dihukum satu tahun penjara dengan dua tahun masa percobaan.
"Jaksa tuntut terdakwa pasal 156 KUHP yang dikatakan menista golongan. Nah golongan menurut hukum di Indonesia mengacu pada golongan penduduk, pribumi, Hindia Belanda, dan timur asing. Enggak ada hubungannya dengan ulama," kata Tommy.
(baca: Didatangi Pendemo, PN Jakut Pastikan Vonis Ahok Tak Bisa Diintervensi)
Selain itu, dia menyayangkan adanya aksi unjuk rasa yang menuntut vonis hakim dengan hukuman maksimal bagi Ahok. Aksi unjuk rasa tersebut berlangsung pada Jumat (28/4/2017) di depan Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
"Biarkan majelis hakim melakukan tugasnya untuk menangani perkara ini. Masa hakim belum apa-apa, sudah didemo untuk buat putusan begini," kata Tommy.
(baca: Usai Sidang Ahok, Jaksa Dikawal Ketat Polisi)