JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama disebut sempat berdampak pada internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Hal itu diungkapkan Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU, Rumadi Ahmad, dalam sebuah forum diskusi di Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (4/5/2017).
"Posisi NU dalam kasus ini memang agak repot. Bahkan sampai kemudian terjadi situasi yang tidak mengenakkan secara internal karena kasus ini," kata Rumadi, di hadapan peserta diskusi.
(baca: Kuasa Hukum Bandingkan Kasus Ahok dengan Korupsi Pengadaan Al Quran)
Menurut Rumadi, dari pengalamannya melakukan kajian, dia melihat kasus yang berkaitan dengan penodaan agama ke depan akan semakin banyak.
Hal itu ditandai dengan beberapa peristiwa yang dulu dinilai sebagai hal biasa, namun kini bisa dianggap sebagai bentuk penodaan terhadap agama.
"Kecenderungan untuk semakin sensitif dengan persoalan keagamaan semakin tinggi. Persoalan yang dulu dianggap biasa saja, itu sekarang bisa dianggap sebagai penghinaan," tutur Rumadi.
(baca: Tak Ada Replik dan Duplik, Hakim Bacakan Vonis Ahok pada 9 Mei)
Menurut Rumadi, kecenderungan kasus dugaan penodaan agama bisa semakin mencuat tidak lepas dari pasal yang digunakan, yaitu Pasal 156a dan Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dia menilai pasal tersebut masih terlalu luas cakupannya.
"Perasaan terhina itu, kalau kita sudah tidak suka dengan orang, orangnya melirik saja, enggak ngomong apa-apa, itu sudah merasa terhina. Perasaan kan susah untuk ditakar," ujar Rumadi.
Ahok menjadi terdakwa dalam kasus dugaan penodaan agama karena ucapannya saat berpidato di Kepulauan Seribu 27 September 2016 mengutip surat Al Maidah ayat 51.
Ahok didakwa bersalah melanggar Pasal 156 KUHP tentang penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia. Jaksa menuntut Ahok satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.