Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masalah Kekaryawanan PT Transjakarta Warisan dari Era Transisi

Kompas.com - 16/06/2017, 18:43 WIB

Peralihan status dari unit pengelola ke perseroan terbatas pada 2014 menyisakan masalah ketenagakerjaan di badan usaha milik daerah angkutan umum, PT Transportasi Jakarta. Perbedaan pemahaman tentang status dan kontrak kerja membuat konflik antara perusahaan dan karyawan meruncing, bahkan menyebabkan mogok massal, Senin lalu.

Pada 1 Januari 2015, PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) resmi beroperasi menggantikan UP Transjakarta Busway. Pada tanggal itu, PT Transjakarta mewarisi 5.887 karyawan dan hanya 92 orang di antaranya berstatus karyawan tetap. Selebihnya, 5.795 orang, adalah karyawan yang dikontrak tanpa seleksi dari badan sebelumnya dan dipekerjakan dengan sistem perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

Menurut Direktur Utama PT Transjakarta Budi Kaliwono, sebanyak 5.887 karyawan itu direkrut setelah masa kerja mereka berakhir pada Desember 2014.

"Begitu kontrak selesai, mereka melamar ke PT Transjakarta. Daripada mencari orang baru, kami rekrut mereka dengan sistem kontrak yang diperbarui setiap tahun," ujar Budi di kantor PT Transjakarta, Kamis (15/6/2017).

Sampai Mei 2017, total karyawan PT Transjakarta sebanyak 6.336 orang.

Menurut Budi, pembenahan manajemen karyawan lama tengah dilakukan. PT Transjakarta butuh mendata dan mengevaluasi kinerja setiap karyawan.

Turut kontribusi

Di sisi lain, sebagian besar karyawan kontrak menilai PKWT yang dilakukan PT Transjakarta menyalahi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 59 Ayat 4 UU No 13/2003 itu mengatur kontrak PKWT paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.

Koordinator lapangan karyawan kontrak PT Transjakarta, Budi Marcello Lesiangi, mengatakan, sebagian besar karyawan kontrak bekerja lebih dari lima tahun, terhitung sejak masih di UP Transjakarta Busway. Bahkan, ada karyawan yang sudah bekerja sejak bus transjakarta mulai beroperasi tahun 2004.

"Menurut kami, PT Transjakarta telah melanggar UU Ketenagakerjaan dan kontrak PKWT ini cacat hukum. Kami yang sudah bekerja lebih dari lima tahun sudah seharusnya disahkan sebagai karyawan tetap," ujar Budi Marcello.

Sejumlah isu yang meresahkan muncul di kalangan karyawan. Isu tersebut di antaranya pembatasan usia petugas garda depan (frontliner) hingga maksimal 35 tahun. Karyawan yang berstatus suami-istri di PT Transjakarta diminta menandatangani surat pengunduran diri. Padahal, menurut Budi Marcello, aturan itu baru diatur dalam perjanjian kerja yang dibuat pada 2016. Isu semakin memanas ketika 44 karyawan cuci bus dirumahkan lalu dialihkan statusnya menjadi pegawai alih daya (outsourcing). Karyawan yang sudah bekerja lama pun panik.

"Ini perjuangan kami supaya perusahaan tidak terus membuat keputusan sepihak. Kami tidak bisa diam melihat PKWT yang cacat hukum," kata Budi Marcello.

Menurut Budi Kaliwono, masalah status karyawan ini menguak karena kontrak kerja mereka habis pada 30 Juni 2017. Sesuai klausul kontrak, setiap tahun, PT Transjakarta akan memperbarui kontrak kerja karyawan PKWT.

Setelah perpanjangan kontrak pada 30 Juni 2017, PT Transjakarta akan memberikan kesempatan kepada karyawan kontrak untuk mengikuti seleksi pengangkatan karyawan tetap.

"Mungkin akan ada tes massal," ujar Budi Kaliwono.

(Dian Dewi Purnamasari/Helena F Nababan)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Juni 2017, di halaman 28 dengan judul "Warisan Masalah Karyawan dari Era Transisi".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Megapolitan
Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program 'Bebenah Kampung'

Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program "Bebenah Kampung"

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Megapolitan
Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Megapolitan
Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Megapolitan
Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi 'Online' di Kembangan untuk Bayar Pinjol

2 Pria Rampok Taksi "Online" di Kembangan untuk Bayar Pinjol

Megapolitan
Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Megapolitan
Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Megapolitan
Prabowo-Gibran Belum Dilantik, Pedagang Pigura: Belum Berani Jual, Presidennya Masih Jokowi

Prabowo-Gibran Belum Dilantik, Pedagang Pigura: Belum Berani Jual, Presidennya Masih Jokowi

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Sendiri Pakai Senpi

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Sendiri Pakai Senpi

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi Online di Jakbar, Leher Sopir Dijerat dan Ditusuk

2 Pria Rampok Taksi Online di Jakbar, Leher Sopir Dijerat dan Ditusuk

Megapolitan
Polisi Periksa Kejiwaan Orangtua yang Buang Bayi ke KBB Tanah Abang

Polisi Periksa Kejiwaan Orangtua yang Buang Bayi ke KBB Tanah Abang

Megapolitan
Golkar Buka Peluang Lanjutkan Koalisi Indonesia Maju pada Pilkada DKI 2024

Golkar Buka Peluang Lanjutkan Koalisi Indonesia Maju pada Pilkada DKI 2024

Megapolitan
Di Tanah Tinggi Hampir Mustahil Menyuruh Anak Tidur Pukul 10 Malam untuk Cegah Tawuran

Di Tanah Tinggi Hampir Mustahil Menyuruh Anak Tidur Pukul 10 Malam untuk Cegah Tawuran

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com