Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Status Tanah di Puncak Hanya Hak Pakai

Kompas.com - 23/04/2014, 09:48 WIB

BOGOR, KOMPAS.com - Status tanah di kawasan lindung dan resapan air di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, itu hanya Hak Pakai (HP). BPN Kabupaten Bogor memastikan tidak akan pernah menerbitkan sertifikat tanah di kawasan puncak, terutama untuk wilayah Kecamatan Cisarua dan Megamendung.

"Kami hanya bisa mengeluarkan sertifikat Hak Pakai untuk lahan pertanian dan perkebunan, yang jangka waktu pakainya hanya 10 tahun, dan lahan tersebut tidak boleh digunakan untuk nonpertanian," kata Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan BPN Kabupaten Bogor, Wijoyo Budi Karyo dalam seminar Peringatan Hari Bumi yang digelar Konsorsium Peduli Puncak, Selasa (22/4).

Wijoyo Budi Karyo menjelaskan, dalam kebijakan penataan Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, berdasarkan Keppres 114 tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor Puncak-Cianjur (Bopuncur) sebagai daerah konservasi dan resapan air tanah.

Saat ditanya banyaknya lahan Hak Guna Pakai yang berubah fungsi menjadi pemukiman, tempat usaha bahkan vila, menurut Wijoyo hai itu disebabkan lemahnya pengawasan dari pemerintah daerah.

"Seharusnya pemerintah daerah yang berwenang mengecek status tanah sebelum mengeluarkan IMB," katanya.

Banyak makelar

Sementara itu, Kepala Unit Administatur PTPN VIII Gunung Mas, Tri Hermawan mengatakan, dari 1.623 hektare lahan milik perkebunannya tersebut ada sekitar 352,67 hektare lahan yang diserobot warga dan pengusaha dan saat ini dalam kondisi sengketa.

"Ada sekitar 113 bangunan liar yang berdiri di lahan kami. Untuk itu kami meminta kepada pemerintah Kabupaten Bogor agar bangunan tersebut dibongkar karena ilegal dan berdiri di lahan milik negara," katanya.

Dia mengatakan, berdasarkan hasil investigasi di lapangan dan keterangan dari beberapa pemilik lahan dan vila ilegal yang berdiri di atas tanah milik PTPN VIII Gunung Mas, mereka rata-rata tidak mengetahui jika status tanah tersebut masih masuk dalam sertifikat HGU perkebunan.

"Di sini bariyak biyong (makelar) tanah yang bermain, karena para pemilik vila tersebut membeli tanah dari perantara dangan alasan status tanah merupakan eks atau bekas lahan perkebunan dan yang sertifikatnya dapat diurus menjadi HGU bahkan sertifikat hak milik," katanya.

Di tempat yang sama, Peneliti dari Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) Institut Pertanian Bogor (IPB), Ernan Rustandi, mengatakan, untuk menata dan membenahi kawasan puncak, tidak hanya cukup dengan membongkar bangunan dan vila liar, tapi juga harus mengusut semua oknum yang melakukan jual beli tanah milik negara.

"Siapa yang bermain, menjual tanah ini harus ikut diusut," kata Ernan. (wid)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polisi Selidiki Kasus Penistaan Agama yang Diduga Dilakukan Oknum Pejabat Kemenhub

Polisi Selidiki Kasus Penistaan Agama yang Diduga Dilakukan Oknum Pejabat Kemenhub

Megapolitan
Viral Video Perundungan Pelajar di Citayam, Korban Telepon Orangtua Minta Dijemput

Viral Video Perundungan Pelajar di Citayam, Korban Telepon Orangtua Minta Dijemput

Megapolitan
Curhat Warga Rawajati: Kalau Ada Air Kiriman dari Bogor, Banjirnya kayak Lautan

Curhat Warga Rawajati: Kalau Ada Air Kiriman dari Bogor, Banjirnya kayak Lautan

Megapolitan
Heru Budi Bakal Lanjutkan Pelebaran Sungai Ciliwung, Warga Terdampak Akan Didata

Heru Budi Bakal Lanjutkan Pelebaran Sungai Ciliwung, Warga Terdampak Akan Didata

Megapolitan
Ibu Hamil Jadi Korban Tabrak Lari di Gambir, Kandungannya Keguguran

Ibu Hamil Jadi Korban Tabrak Lari di Gambir, Kandungannya Keguguran

Megapolitan
Jawab Kritikan Ahok Soal Penonaktifan NIK KTP, Heru Budi: Pemprov DKI Hanya Menegakkan Aturan

Jawab Kritikan Ahok Soal Penonaktifan NIK KTP, Heru Budi: Pemprov DKI Hanya Menegakkan Aturan

Megapolitan
Paus Fransiskus ke Indonesia September 2024, KWI: Bawa Pesan Persaudaraan Umat Manusia

Paus Fransiskus ke Indonesia September 2024, KWI: Bawa Pesan Persaudaraan Umat Manusia

Megapolitan
Diterima Jadi Polisi, Casis Bintara Korban Begal: Awalnya Berpikir Saya Gagal

Diterima Jadi Polisi, Casis Bintara Korban Begal: Awalnya Berpikir Saya Gagal

Megapolitan
Polisi Kantongi Identitas Pengemudi Fortuner yang Halangi Laju Ambulans di Depok

Polisi Kantongi Identitas Pengemudi Fortuner yang Halangi Laju Ambulans di Depok

Megapolitan
Dapat Ganti Untung Normalisasi Ciliwung, Warga Rawajati Langsung Beli Rumah Baru

Dapat Ganti Untung Normalisasi Ciliwung, Warga Rawajati Langsung Beli Rumah Baru

Megapolitan
Tak Gentarnya Jukir Liar di Minimarket, Masih Nekat Beroperasi meski Baru Ditertibkan

Tak Gentarnya Jukir Liar di Minimarket, Masih Nekat Beroperasi meski Baru Ditertibkan

Megapolitan
Kilas Balik Kasus Pembunuhan Vina Cirebon, Kronologi hingga Rekayasa Kematian

Kilas Balik Kasus Pembunuhan Vina Cirebon, Kronologi hingga Rekayasa Kematian

Megapolitan
Dikritik Ahok soal Penonaktifan NIK KTP Warga Jakarta, Heru Budi Buka Suara

Dikritik Ahok soal Penonaktifan NIK KTP Warga Jakarta, Heru Budi Buka Suara

Megapolitan
Walkot Depok Terbitkan Aturan Soal 'Study Tour', Minta Kegiatan Dilaksanakan di Dalam Kota

Walkot Depok Terbitkan Aturan Soal "Study Tour", Minta Kegiatan Dilaksanakan di Dalam Kota

Megapolitan
Rumahnya Digusur Imbas Normalisasi Kali Ciliwung, Warga: Kita Ikut Aturan Pemerintah Saja

Rumahnya Digusur Imbas Normalisasi Kali Ciliwung, Warga: Kita Ikut Aturan Pemerintah Saja

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com