Salah satunya berasal dari Lia Deviyanti, wanita yang berdomisili di Harapan Jaya, Bekasi. Lia memiliki pengalaman hidup selama 22 tahun dengan orangtua yang berbeda agama.
Secara tegas, dia tidak mendukung adanya rancangan undang-undang yang memperbolehkan pernikahan dengan beda keyakinan. Dia mengungkapkan, selama hidup dalam keluarga yang berbeda keyakinan, banyak kebingungan yang sering dialami. [Baca: Nikah Beda Agama adalah Contoh Kemajemukan]
Lia Deviyanti merupakan anak dari seorang ibu yang beragama Katolik dan ayah yang beragama Islam. Kedua kakaknya juga beragama Katolik. Lia juga hidup dekat dengan keluarga sang ibu yang semuanya juga beragama Katolik.
Sementara keluarga sang ayah lebih banyak di Surabaya. Mengikuti agama ibunya, Lia sejak kecil sudah beragama Katolik. Namun, ketika berada di pertengahan pendidikan SMA, Lia mengganti agamanya menjadi Islam.
Sejak kecil, Lia mengaku belum merasakan kesulitan menjadi anak dari orangtua yang beda agama.
Sebelum dia pindah agama, hanya ayahnya yang satu-satunya beragama Islam. "Dulu Papa pernah bilang mau ada anaknya yang menyolatkan dia kalau dia meninggal nanti," ujar Lia kepada Kompas.com, Jumat (5/9/2014). [Baca: Gugat UU Pernikahan ke MK agar Menikah Beda Agama Ada Kepastian Hukum]
Namun, dulu Lia belum memusingkan hal tersebut. Menginjak bangku kelas II SMA, Lia mulai mengalami peristiwa yang membuat dia berniat untuk mengubah agamanya. Hingga akhirnya, ketika dia berumur 17 tahun, Lia resmi memeluk agama Islam mengikuti ayahnya.
Ikut dua hari raya
Setelah Lia memeluk agama Islam, mulai ada konflik-konflik yang timbul. Ibunya menolak keputusan Lia untuk pindah agama. Sedangkan ayahnya terus menguatkan Lia untuk tetap setia pada keputusannya. [Baca: Menteri Agama: Sulit jika Nikah Beda Agama Dilegalisasi]
Ketika Lia mulai berpuasa, rutinitas sahur dan berbuka hanya dia lakukan bersama ayahnya. Saat sudah memasuki hari raya Idul Fitri, Lia sering kali hanya dapat ber-Lebaran bersama ayahnya.
Melaksanakan shalat Id pun, Lia bersama ayah dan tetangga rumah. Begitu pula ketika hari raya Natal tiba. Keluarganya yang mayoritas beragama Katolik biasa mendekorasi rumah dan merayakan Natal secara besar-besaran.
Tinggal di rumah yang sama, Lia pun juga ikut merayakan Natal bersama keluarganya. Hal terberat yang pernah dirasakan Lia sejak pindah agama adalah banyak teman-teman yang menjauhinya.
"Teman-teman di gereja dulu sebut Lia 'pengkhianat Tuhan'," ujar Lia. Hal berat lain, tak jarang Lia menyaksikan kedua orangtuanya berselisih paham soal kepindahan agamanya.
Suatu ketika, Lia pernah bertanya kepada ayahnya kenapa sampai memutuskan untuk menikah beda agama. "Papa cuma bilang, namanya sudah kejadian," ujar Lia.