Rumah-rumah tersebut telah berganti dengan ruko-ruko, menyulap wajah Depok menjadi kota dengan hiruk pikuk yang menyamai Ibu Kota. Rumah-rumah itu adalah tempat tinggal warga asli Depok atau yang dikenal dengan sebutan Belanda Depok.
"Sekarang tinggal 10-15 rumah (gaya kolonial) yang tersisa. Ini karena faktor ekonomi. Daerah sini kan sekarang jadi wilayah elite, otomatis pajak pun ikut naik. Nah, banyak orang Depok asli yang merasa keberatan dengan pajak segitu akhirnya jual rumahnya," kata anggota Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC) Yano Jonathans kepada Kompas.com akhir peka ini.
Yano menuturkan, besaran pajak untuk wilayah Jalan Pemuda adalah Rp 5-6 juta. Menurut dia, dulu di sepanjang Jalan Pemuda dan Kartini, semua rumahnya bergaya kolonial dan dihuni oleh orang asli Depok.
Kedua ruas jalan tersebut pun menjadi jalan utama Depok pada masa itu. Sejak pembangunan perumnas 1 pada 1976-1977, perlahan pusat keramaian Depok mulai bergeser dari kedua ruas jalan tersebut meskipun daerah tersebut tetap menjadi kawasan elite.
Pada 1978, kedatangan masyarakat Jakarta yang menghuni perumnas pun turut meramaikan Depok. Saat ini, pusat pemerintahan Kota Depok terletak di Jalan Margonda.
Di sana, kantor Wali Kota serta sejumlah lembaga pemerintahan berdiri. Tak ketinggalan, pusat belanja dan apartemen turut menghiasi wajah Jalan Margonda. Sementara itu, kawasan di sepanjang Jalan Pemuda dan Kartini dikenal dikenal dengan nama Depok Lama.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.