Susilawati (37), salah satu pengusaha batu alam di lokasi tak menyangka bahwa ganti rugi tidak diberikan. Padahal, sebelum digusur, petugas sempat pengukur tanah sempat mendatangi lokasi. Ia mengira, pengukuran itu untuk menentukan ganti rugi.
"Saya pikir mau diganti pas diukur. Awalnya bicara manis, janjinya mau diganti tapi enggak diganti," kata Susilawati, di lokasi penertiban, Senin (29/12/2014).
Menurut dia, tanah itu ditempati lebih dulu oleh orangtuanya, untuk dijadikan tempat tinggal dan usaha sekitar tahun 1985. Pada saat itu, ada semacam kesepakatan antar warga dan pengelola GOR Lebak Bulus untuk menempati lahan. Keluarganya kemudian mendapati lahan seluas 250 meter persegi.
"Dulu ada batasnya sama pihak GOR. Yang untuk masyarakat dan untuk mereka," ujar Susilawati.
Ia juga tidak pernah mengurus sertifikat tanah. "Aku enggak pakai sertifikat karena awalnya orangtua awam," ujarnya.
Nery (40), pemilik warung Indomie dan kedai kopi yang juga ditertibkan tempat usahanya mengatakan, sebagian warga memang tidak terima dengan penggusuran ini. Namun, warga tidak dapat berbuat banyak karena tanah tersebut memang tanah pemerintah.
"Ya, semuanya sempat nolak, apalagi kita sudah enam tahun di sini. Mau gimana lagi, kita tinggal ngikutin pemerintah saja," ujar Nery.
Wakil Wali Kota Jakarta Selatan Tri Djoko mengatakan, sosialisasi dan surat peringatan sudah dilayangkan kepada warga. Namun, tetap saja warga tersebut masih menempati lahan itu.
"Kita sudah jelaskan berkali-kali mereka tetap begitu, ya biasanya minta mediasi, segala macam," ujar Tri.
Menurut dia, tidak ada ganti rugi atau kerohiman untuk warga yang bermukim liar di lahan seluas 31.000 meter persegi milik pemerintah itu. "Enggak ada ganti rugi," ujar Tri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.