Begitu perumpamaan yang disampaikan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kondisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Erlinda, terkait korban pencabulan, termasuk para remaja yang dicabuli oleh tukang ojek pangkalan berinisial IW (46) di Kelapa Gading Timur, Jakarta Utara, beberapa waktu lalu.
"Korbannya itu alami cidera seperti ditabrak kontainer. Tak hanya psikis, tapi faktor traumatik juga akan dialami para korbannya," kata Erlinda kepada Kompas.com, Kamis (10/9/2015).
Berdasarkan penelitian secara global, para korban pencabulan, khususnya sodomi, kerap berpotensi mendorong korban menjadi pelaku. "Potensinya lebih dari 70 persen," ucap Erlinda.
Hal itu dibuktikan dengan profil tersangka IW yang pernah menjadi korban pencabulan serupa saat masih bocah. IW mengaku pernah disodomi seorang waria saat masih SD.
Perlakuan tersebut didapatnya berulang kali selama beberapa tahun. Sehingga, menyebabkan dirinya tidak berkesempatan mendapatkan ijazah SD.
Kasus tersebut kata Erlinda, serupa dengan kasus Emon di Sukabumi Jawa Barat, tahun 2014 silam. Bahkan, saat itu, Pemkot Sukabumi menetapkan kasus ini sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) karena Emon dianggap sebagai monster menakutkan bagi masa depan anak-anak.
Hasil pemeriksaan penyidik polisi, buruh pabrik di Sukabumi itu melakukan kekerasan seksual terhadap lebih dari 140 anak-anak di kampungnya. Selama kurun waktu 2013 hingga 27 April 2014, Korban Emon rata-rata berusia 13 tahun ke bawah.
Emon diidentifikasi mudah terangsang hasrat seksualnya secara berlebih. Sejak berusia 7 tahun, Emon gemar menonton video porno dan menjadi korban sodomi saat usia 11 tahun.
Pengalaman sebagai korban membuatnya menderita trauma dan mendorongnya untuk melakukan hal serupa terhadap orang lain.
"Sebagai korban akan berpotensi menjadi pelaku. Sebagai tindak KLB, korban harus di "trauma healing" semur hidup. Karena kerugian korban lahir batin mesti ditangani secara khusus," ujar Erlinda.