KOMPAS - Apa jadinya jika laut mulai kehilangan ikannya? Saat jala ditebar, yang tersangkut hanya lumpur dari pengurukan pulau. Bagi Tatang, yang telah 40 tahun menjadi nelayan di Muara Angke, Jakarta Utara, hal itu tentu kabar buruk.
”Laut ini tempat hidup saya. Kalau laut diubek-ubek, sama saja menghilangkan mata pencarian saya.”
Semilir angin membawa bau amis ikan bercampur bau sampah begitu kaki menginjak perkampungan nelayan di sisi barat Pelabuhan Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara, Kamis (17/9) siang itu. Sinar matahari yang terik membuat bau ”khas” sekitar pelabuhan ini makin menyeruak.
Namun, panas dan bau itu tak membuat Tatang bergeser dari sampannya yang sudah kusam warnanya. Duduk membelakangi laut, ayah sembilan anak itu mengambil gayung lalu menguras air dari dasar sampan yang bocor. Raut wajahnya murung.
”Hari ini cuma dapat lima ekor ikan ketang-ketang. Gimana mau dijual kalau begitu? Lebih baik dikasih tetangga,” ucapnya sambil tersenyum kecut.
Wajar saja Tatang kecewa. Sekali melaut, dia menghabiskan waktu sekitar 16 jam. Pukul 17.00, dia sudah berangkat dari Pelabuhan Kali Adem. Dia baru pulang keesokan harinya, sekitar pukul 09.00.
Bukan hanya kali ini Tatang pulang dengan tangkapan minim. Sehari sebelumnya, dia hanya mampu membawa pulang 3 kilogram ikan. Ikan itu lalu dijual seharga Rp 15.000. Padahal, sekali melaut, dia membutuhkan modal Rp 30.000.
Modal itu digunakan membeli bensin premium untuk bahan bakar mesin sampannya dan es batu untuk mendinginkan ikan tangkapan.
Ia menuturkan, pekerjaannya ini sudah tak seperti dulu. ”Kami ini, kalau tidak melaut, tidak mendapatkan uang, tetapi melaut juga malah rugi,” keluhnya.
”Yang terjaring cuma lumpur. Lihat saja jaringnya sudah berwarna coklat.”
Jaring rampus yang dipakai Tatang telah berubah warna meski baru dibeli beberapa bulan lalu. Warnanya putih kekuning-kuningan. Satu jaring lagi telah berwarna kuning pekat.
Menurut dia, hal ini terjadi sejak laut di sekitar Muara Angke terus diuruk. Lumpur yang masuk ke jaringnya itu ia yakini berasal dari proses reklamasi di sekitar Muara Angke.
Pembangunan pulau
Pengurukan untuk pembangunan dua pulau reklamasi di sekitar Muara Angke telah terjadi sejak tahun lalu. Pengurukan membuat laut keruh karena pasir dan lumpur. Satu pulau lagi segera dibangun sekitar 300 meter di utara Pelabuhan Muara Angke. Balon-balon penanda area pengurukan telah terpasang.
”Kalau sekarang melaut, kami harus memutar. Padahal, dulu tinggal bablas saja. Bahan bakar tentu tambah karena perjalanan tambah hingga 1,8 kilometer,” kata Masduki (57), nelayan rajungan yang ditemui di sekitar dermaga Muara Angke, Rabu.