Nelayan asal Indramayu ini menceritakan, makin lama tempat pencarian ikan makin jauh dari pesisir. Saat ini, dia harus menempuh perjalanan sekitar 5,5 kilometer.
Hasil yang diperolehnya pun tak seberapa. Jika sedang beruntung, paling-paling ia bisa mendapatkan 10 kilogram rajungan.
Padahal, beberapa tahun lalu, dia mendapatkan hingga 25 kilogram rajungan sekali melaut. Mencari tangkapan pun tak perlu berlayar jauh, hanya sekitar 1,8 kilometer.
”Kalau bicara penghasilan, tentu makin berkurang. Kalau mencari rajungan di dekat pantai, sudah hampir dipastikan hasilnya sangat kurang. Dulu, di sekitar Ancol masih banyak (rajungan), tetapi sekarang di sana sudah dikeruk juga,” ungkapnya.
Pengurukan dan pembangunan pulau ini juga mulai meresahkan nelayan teri dengan kapal yang lebih besar. Firman (54), Rabu itu, bersama sebelas rekannya hanya mendapatkan 4 kuintal ikan.
”Rata-rata setiap melaut dapatnya cuma segitu, lalu dibagi ke awak dan yang punya (kapal). Cuma dapat Rp 30.000 sehari. Kalau dulu bisa sampai 1 ton, itu juga paling 12 kilometer keluarnya,” kata ayah tiga anak ini.
Firman juga mengeluhkan tak adanya sosialisasi kepada nelayan terkait perubahan alur pelayaran. Tiba-tiba saja pembangunan berlangsung sehingga membuat alur kapal berubah.
”Kalau ada pekerjaan lain, saya mau. Jadi anggota satpam atau kerjaan lain saya mau coba. Jadi nelayan sekarang sudah tambah susah,” katanya.
Daerah Teluk Jakarta, seperti dituturkan Koordinator Riset Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor Syamsul Bahri Agus, adalah habitat rajungan, udang, bandeng, teri, dan sejumlah ikan lain. Meski terdampak limbah dan pembangunan, sebagian wilayah itu masih menjadi habitat hewan-hewan laut tersebut.
Selama itu pula, laut di wilayah itu menjadi mata pencarian utama ribuan nelayan pinggiran. ”Saat reklamasi mulai dilakukan, ekosistem di wilayah itu pasti berubah. Habitat ikan rusak dan ikan akan berpindah. Selain itu, aliran arus jadi tidak sama dan fungsi mangrove yang tersisa sudah tak relevan. Dari semua itu, nelayan yang paling terdampak,” papar Syamsul.
Pakar oseanografi IPB, Alan Koropitan, menambahkan, dengan adanya pembangunan di Teluk Jakarta, bisa dipastikan ikan-ikan hilang. Sebab, sedimentasi akan terjadi dan membuat fotosintesis di dasar laut terganggu. Dengan begitu, pasokan makanan ikan juga pasti akan berkurang.
”Belum reklamasi saja habitat ikan telah berkurang karena limbah padat dan cair, apalagi kalau ditambah pembangunan,” ujar Alan.
”Kalau sudah terbangun seperti ini, sulit berkomentar lagi. Kami inginnya solusi dari pemerintah bukan seperti ini.” katanya. (Saiful Rijal Yunus)
___________
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 September 2015, di halaman 1 dengan judul "Hilangnya Ikan di Laut Kami...".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.