"Kegiatan semacam reklamasi itu paling tidak harus punya dokumen kelayakan lingkungan hidup. Jika reklamasi ini memperburuk kondisi lingkungan, antisipasinya seperti apa. Nah, ini belum ada dokumennya," ujar Riza di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jakarta Pusat, Rabu (11/11/2015).
Menurut Riza, selama ini Pemerintah Provinsi DKI selalu mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995.
Riza menilai, Keppres Tahun 1995 itu dibuat karena ada kekosongan lembaga saat itu.
Ketika itu, belum ada undang-undang soal pesisir dan pulau kecil. Bahkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan saat itu belum ada.
Saat ini, kata Riza, instrumen hukum semakin lengkap.
"Kemudian, kalau kita lihat peraturan pemerintah, rencana reklamasi Teluk Jakarta disebut kawasan strategis nasional. Saat masuk jadi kawasan strategis, maka izin lokasi dan izin pelaksanaan harus dari Menteri KKP, dan bukan Gubernur DKI. Ini kesalahan fatal," ujar Riza.
Tercatat, ada sembilan pengembang yang terlibat dalam proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta.
Sejauh ini, baru dua pengembang yang telah mendapatkan izin pelaksanaan, yakni PT Muara Wisesa Samudera (anak perusahaan Agung Podomoro) untuk reklamasi di Pulau G, dan PT Kapuk Naga Indah (anak perusahaan Agung Sedayu) untuk Pulau C,D, dan E.
Izin pelaksanaan untuk PT Muara Wisesa Samudera diterbitkan oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama pada Desember 2014.
Sementara itu, izin untuk PT Kapuk Naga Indah diterbitkan pada 2012 pada era kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.