Warga pemilik lahan menolak harga yang ditawarkan pemerintah Rp 26 juta per meter persegi dan mereka menuntut harga lebih tinggi, yakni Rp 43 juta per meter persegi.
Acara yang dilaksanakan di lantai 2 kantor Kecamatan Cilandak ini diikuti 34 warga pemilik lahan.
Musyawarah awalnya berlangsung kondusif. Perwakilan dari warga Kelurahan Gandaria Selatan yang lahannya akan terkena proyek pembangunan stasiun MRT diajak berdiskusi dengan perwakilan dari Pelayanan Perizinan Terpadu (P2T).
P2T menawarkan harga tanah warga yang terkena proyek MRT di Jalan Fatmawati Raya sebesar Rp 26 juta per meter persegi.
Namun, warga tidak menyetujui tawaran P2T. Mereka meminta harganya jauh di atas harga yang ditawarkan, yaitu Rp 43 juta per meter persegi.
Perdebatan pun mulai terjadi. Saling potong pembicaraan berujung pada perdebatan sengit.
Beberapa perwakilan warga sempat berhadap-hadapan dengan pihak P2T dengan hanya dibatasi oleh sebuah meja.
Wali Kota Jakarta Selatan Tri Kurniadi terlihat duduk di belakang warga yang melakukan musyawarah itu. Musyawarah berubah menjadi debat kusir.
Salah seorang warga, Hery (55), terlihat emosi karena tanah milik pengusaha marmer di Jalan Fatmawati Raya itu hanya dihargai Rp 26 juta per meter persegi.
Hery mengaku, di Jalan Fatmawati Raya tak ada lagi lahan yang dijual seharga Rp 26 juta per meter persegi.
Hal itu membuat dia tidak bersedia menjual tanahnya. Warga meminta lahan mereka dibayar Rp 43 juta per meter persegi.
Dia meminta pejabat P2T menjelaskan dari mana harga appraisal sebesar Rp 26 juta per meter persegi itu keluar.
"Tolong jelasin dong dari mana itu angka keluar. Kami minta ganti rugi tiga kali lipat dong," ucapnya.
Hery tidak perduli harga itu merupakan appraisal dan nilainya sudah diatas nilai jual obyek pajak (NJOP).