Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kalau Metromini Dihapus, Saya Enggak Tahu Mau Jadi Apa..."

Kompas.com - 22/12/2015, 08:57 WIB
Dian Ardiahanni

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pagi ini Ikin (33) ragu untuk berangkat bekerja, maklum saja, rekan-rekannya mengajak untuk mogok massal. Namun, sopir metromini S 71 Blok M-Bintaro Kodam itu, tetap memilih untuk kerja.

"Tadinya mau ikut mogok, cuma kepikiran anak, jadi saya putusin untuk tetap narik," ucap Ikin saat ditemui Kompas.com di Terminal Blok M, Jakarta, Senin (21/12/2015).

Sebetulnya, Ikin juga ingin menunjukkan solidaritasnya dengan mogok massal bersama sopir metromini se-DKI Jakarta.

Tetapi, sopir berbadan kurus ini, bingung lantaran harus memberikan uang jajan ketiga anaknya yang masih duduk di bangku SD.

"Anak saya masih kecil-kecil, yang paling besar kelas tiga SD. Kemudian yang kedua kelas dua dan si bontot masih kelas satu, jadi ya lumayan buat biaya sehari-hari," kata warga Bintaro, Jakarta Selatan itu.

Meskipun bekerja sebagai sopir metromini, namun Ikin bercita-cita kelak bisa menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi.

"Setinggi-tingginya, kalau bisa sampai jadi sarjana," kata Ikin.

Namun, kehidupan ekonomi Ikin, kini dihadapkan oleh masalah baru. Metromini, kendaraan yang menjadi sumber penghasilannya rencananya akan dihapuskan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

"Kalau metromini dihapus, saya juga enggak tahu mau jadi apa. Soalnya pendidikan saya enggak tinggi," ucap lelaki yang sudah 10 tahun berprofesi sebagai sopir metromini ini.

Ikin berharap, pemerintah bisa mengambil kebijakan yang tidak merugikan para sopir.

"Ekonomi para sopir juga pas-pasan, jangan dibikin jadi mati. Kita nafas sudah engap-engapan," ujar Ikin.

Tak hanya Ikin, Mukti (40) ingin pemerintah tidak menyamaratakan semua sopir metromini. Sebab, menurut dia, tidak semua sopir bertindak ugal-ugalan di jalan.

"Pemerintah harusnya memeriksa satu per satu, jangan dirazia semuanya. Enggak ada etikanya kalau begitu," kata sopir metromini S 72 Blok M-Lebak Bulus itu.

Selain itu, Mukti mengaku takut kehilangan pekerjaannya sebagai sopir metromini. Karena dia harus menghidupi istri dan kelima anaknya.

"Yang punya pendidikan tinggi saja pada susah cari kerja. Apalagi saya yang enggak punya pendidikan," ujar Mukti

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Taruna STIP Tewas Dianiaya, Polisi Ungkap Pemukulan Senior ke Junior Jadi Tradisi 'Penindakan'

Taruna STIP Tewas Dianiaya, Polisi Ungkap Pemukulan Senior ke Junior Jadi Tradisi "Penindakan"

Megapolitan
Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Megapolitan
Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Megapolitan
Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Megapolitan
Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Megapolitan
Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Megapolitan
Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Megapolitan
Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Megapolitan
Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Megapolitan
Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Megapolitan
Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Megapolitan
Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Megapolitan
Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Megapolitan
Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Megapolitan
Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com