JAKARTA, KOMPAS.com - Politisi Partai Gerindra Syarif tidak terima dengan pendapat Direktur Charta Politika Yunarto Wijaya yang menyebut tidak ada bukti empiris koalisi besar bisa memenangkan pilkada dengan mengacu kepada Pilkada DKI 2012. Syarif lalu mengungkit kembali hasil Pilkada DKI 2007.
"Pilkada 2007, PKS dikeroyok oleh 21 partai gabungan parlemen dan non parlemen lho," ujar Syarif, ketika dihubungi, Selasa (9/8/2016).
Pada Pilkada DKI 2007, ada dua pasang calon gubernur dan wakil gubernur, yaitu Fauzi Bowo-Prijanto, dan Adang Daradjatun-Dani Anwar. Dalam hal partai pendukung, pasangan Adang-Dani dikeroyok oleh Fauzi Bowo-Prijanto.
Adang-Dani hanya diusung oleh PKS, sedangkan Fauzi Bowo-Prijanto diusung 21 partai gabungan parlemen dan non parlemen. Hasil akhirnya, Fauzi Bowo-Prijanto menang dengan perolehan suara 57,87 persen, sedangkan Adang-Dani memperoleh suara 42,13 persen.
Padahal, kata Syarif, mesin partai yang dimiliki PKS saat itu begitu efektif. Tetapi akhirnya dikalahkan oleh koalisi besar. Syarif mengatakan itu adalah bukti empiris koalisi besar bisa menang dalam Pilkada DKI.
Namun, fakta yang ia sebutkan bukan berarti koalisi besar pasti menang. Hal yang ingin disampaikan Syarif adalah Pilkada DKI sesungguhnya selalu memberi kejutan dan hasil akhirnya bisa jadi berbeda dengan prediksi sebelumnya.
"Ini artinya Pilkada Jakarta sebenarnya unik dan penuh kejutan," ujar Syarif.
Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, mengatakan, koalisi besar bukan jaminan untuk menang. Sejarah Pilkada DKI 2012 telah membuktikannya.
"Logika koalisi besar menang pilkada tidak memiliki bukti empiris," kata Yunarto, saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Selasa (9/8/2016).
Menurut dia, pada Pilkada DKI Jakarta 2012 silam, pasangan Joko Widodo - Basuki Tjahaja Purnama berhasil memenangkan Pilkada dengan bekal 17 kursi. Jumlah ini jauh lebih kecil dibanding koalisi partai pendukung Fauzi Bowo - Nahrowi Ramli.
"Sejarah pilkada mengatakan figur adalah faktor utama, bukan partai," ucap Yunarto.