JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa tidak relevan membandingkan posisi presiden dan gubernur soal cuti calon petahana.
Sebab, presiden memiliki kewenangan strategis terkait kemanan negara. Berbeda dengan gubernur yang tidak memiliki kewenangan tersebut.
Oleh karena itu, seharusnya perbandingan paling tepat adalah pertarungan antara calon gubernur petahana dengan seorang calon gubernur biasa.
Namun, bila Mahkamah Konstitusi menerima judicial review dari Ahok soal cuti petahana, maka berdampak pada ketidakadilan bagi penantangnya. Sebab, kata Yusril, calon gubernur petahana merupakan orang yang sedang menjabat dengan segala fasiitas dan akses. Petahana juga memiliki sumber, baik kekuasaan maupun finasial, birokrasi dan lainnya.
“Apakah berkedudukan setara dengan penantangnya yang tidak memiliki apa-apa, yang bisa aja dengan modal dengkul melawan gubernur pethahana?” kata Yusril saat memberikan keterangan sebagai pihak terkait di Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (15/9/2016).
Dalam posisi seperti itu, Yusril memohon agar majelis hakim menolak permohonan dari Ahok soal cuti petahana. Sikap ini bertujuan menciptakan rasa keadilan bagi penantang petahana.
Yusril merupakan pihak terkait dalam judicial review (JR) Pasal 70 ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang diajukan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Gugatan itu diajukan Ahok terkait kewajiban calon petahana cuti selama masa kampanye.