Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masa Lalu Pilu RS Pertama di Depok

Kompas.com - 09/01/2017, 18:00 WIB

Oleh: Amanda Putri Nugrahanti

Tanggal 11 Oktober 1945, dua bulan setelah kemerdekaan Indonesia, Dolf Jonathans (85) ingat betul saat terjadi penyerangan oleh para pemuda terhadap keturunan para budak Cornelis Chastelein yang dianggap pro Belanda.

Para bapak dan anak laki-laki di atas 13 tahun dibawa ke Bogor, sedangkan para perempuan dan anak-anak disekap di gedung pemerintahan kotapraja. Gedung itulah yang hingga kini menjadi RS Harapan, Kota Depok.

"Saya waktu itu berusia 13 tahun. Saya ingat waktu kami dibawa pergi ke Bogor naik kereta api. Sementara ibu-ibu dan anak-anak kecil dimasukkan di kantor pemerintahan. Tepat saat kekacauan itu terjadi, datanglah tentara Gurkha (kesatuan tentara Inggris) bersama seorang wartawan perang surat kabar The Times, Johan Fabricius.

Setelah terjadi kontak senjata, para perempuan dan anak-anak itu akhirnya bisa dievakuasi dan diselamatkan," kata Dolf saat ditemui Kompas di Depok, Jawa Barat, Kamis (5/1).

Dolf mengatakan, sebelumnya tentara Sekutu yang hendak menuju Jakarta dari Bogor tak punya rencana sama sekali mampir di Depok. Namun, Fabricius yang mendengar telah terjadi kekacauan di Depok meminta para tentara itu untuk mampir. Saat itulah, tentara Gurkha yang jumlahnya sedikit bertempur dengan para pemuda Indonesia.

"Saat itu sebenarnya kami bukan tidak mendukung perjuangan kemerdekaan RI. Tetapi mungkin karena kami sudah hidup nyaman dengan segala fasilitas dan tanah yang diberikan oleh Chastelein sehingga tidak begitu paham. Padahal, kami rata-rata orang Indonesia, hanya ada sedikit yang campuran Belanda," tutur Dolf.

Apa yang diceritakan Dolf itu juga tercantum dalam buku Jejak-jejak Masa Lalu Depok: Warisan Cornelis Chastelein kepada Para Budaknya yang Dibebaskan karya Jan Karel Kwisthout. Chastelein adalah mantan pegawai organisasi dagang Belanda VOC dan kemudian menjadi tuan tanah di Depok. Ia mendatangkan budak dari berbagai suku di Indonesia untuk menggarap pertanian di tanah-tanah miliknya.

Budak-budaknya telah dibebaskan dan keturunannya kini dikenal dengan 12 klan. Merekalah yang mewarisi tanah setelah Chastelein meninggal pada 28 Juni 1714.

Disebutkan dalam buku itu, desa itu (tempat komunitas Depok tinggal) terlihat mati dan diliputi kesunyian. Di kantor kotapraja, mereka menemukan para wanita dan anak-anak Depok yang ditawan. Di antara mereka terdapat beberapa wanita kulit putih, tetapi sebagian besar berkulit coklat.

Mereka semua kurus, kelelahan, dan terluka. Mereka melaporkan bahwa telah ditemukan oleh pembantu polisi Indonesia di hutan, yang kemudian menahan mereka di kantor kotapraja.

Fabricius menulis dalam laporannya bagaimana komunitas Depok itu telah membuat marah para pemuda karena tak banyak dari mereka yang memihak Republik Indonesia. Akibatnya, terjadilah perampasan, perampokan, dan penyiksaan terhadap komunitas itu.

Fabricius bersama pasukan Gurkha tiba tepat waktu sehingga dapat menyelamatkan perempuan dan anak-anak untuk disatukan kembali dengan keluarga mereka di tempat pengungsian di wilayah Bogor.

Daereh otonom

Gedung yang menjadi saksi penyekapan itu masih berdiri hingga kini. Saat kejadian yang dikenal dengan sebutan Gedoran Depok itu terjadi, gedung itu berfungsi sebagai kantor kotapraja dengan kepala komunitas yang disebut residen. Selain residen, ada pula jajaran pengurus yang bertanggung jawab terhadap berbagai bidang, seperti pengairan, pertanian, cukai, dan kesehatan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ada 292 Aduan Terkait Pembayaran THR 2024 Lewat Website Kemenaker

Ada 292 Aduan Terkait Pembayaran THR 2024 Lewat Website Kemenaker

Megapolitan
Bantah Gonta-ganti Pengurus Tanpa Izin, Ketua RW di Kalideres: Sudah Bersurat ke Lurah

Bantah Gonta-ganti Pengurus Tanpa Izin, Ketua RW di Kalideres: Sudah Bersurat ke Lurah

Megapolitan
Pelaku Pelecehan Payudara Siswi di Bogor Diduga ODGJ, Kini Dibawa ke RSJ

Pelaku Pelecehan Payudara Siswi di Bogor Diduga ODGJ, Kini Dibawa ke RSJ

Megapolitan
Longsor di New Anggrek 2 GDC Depok, Warga: Sudah Hubungi Semua Pihak, Tidak Ada Jawaban

Longsor di New Anggrek 2 GDC Depok, Warga: Sudah Hubungi Semua Pihak, Tidak Ada Jawaban

Megapolitan
Cuaca Panas Ekstrem di Arab Saudi, Fahira Idris Minta Jemaah Haji Jaga Kondisi Fisik

Cuaca Panas Ekstrem di Arab Saudi, Fahira Idris Minta Jemaah Haji Jaga Kondisi Fisik

Megapolitan
Mahasiswa Dikeroyok di Tangsel, Setara Institute Minta Hentikan Narasi Kebencian Pemicu Konflik

Mahasiswa Dikeroyok di Tangsel, Setara Institute Minta Hentikan Narasi Kebencian Pemicu Konflik

Megapolitan
Khawatir Kalah karena Politik Uang, Hanya 1 Kader PKB Daftar Pilkada Bogor

Khawatir Kalah karena Politik Uang, Hanya 1 Kader PKB Daftar Pilkada Bogor

Megapolitan
Dari 11, 4 Aduan Pekerja di Jakarta Terkait Pembayaran THR 2024 Telah Ditindaklanjuti

Dari 11, 4 Aduan Pekerja di Jakarta Terkait Pembayaran THR 2024 Telah Ditindaklanjuti

Megapolitan
Ketum PITI Diperiksa Polisi Terkait Laporan Terhadap Pendeta Gilbert

Ketum PITI Diperiksa Polisi Terkait Laporan Terhadap Pendeta Gilbert

Megapolitan
Lurah di Kalideres Tak Masalah jika Digugat soal Penonaktifan Ketua RW, Yakin Keputusannya Tepat

Lurah di Kalideres Tak Masalah jika Digugat soal Penonaktifan Ketua RW, Yakin Keputusannya Tepat

Megapolitan
Polisi Selidiki Kepemilikan Pelat Putih Mobil Dinas Polda Jabar yang Kecelakaan di Tol MBZ

Polisi Selidiki Kepemilikan Pelat Putih Mobil Dinas Polda Jabar yang Kecelakaan di Tol MBZ

Megapolitan
Hanya 1 Kader Daftar Pilkada Bogor, PKB: Khawatir Demokrasi Rusak seperti Pemilu

Hanya 1 Kader Daftar Pilkada Bogor, PKB: Khawatir Demokrasi Rusak seperti Pemilu

Megapolitan
Pemkot Tangsel Bakal Evaluasi Ketua RT-RW Imbas Pengeroyokan Mahasiswa

Pemkot Tangsel Bakal Evaluasi Ketua RT-RW Imbas Pengeroyokan Mahasiswa

Megapolitan
Meski Tersangka Sudah Ditetapkan, Polisi Sebut Penyidikan Kasus Tewasnya Taruna STIP Belum Final

Meski Tersangka Sudah Ditetapkan, Polisi Sebut Penyidikan Kasus Tewasnya Taruna STIP Belum Final

Megapolitan
Mengingat Lagi Pesan yang Ada di STIP, 'Sekolah Ini Akan Ditutup Jika Terjadi Kekerasan'

Mengingat Lagi Pesan yang Ada di STIP, "Sekolah Ini Akan Ditutup Jika Terjadi Kekerasan"

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com