Banyak orang percaya bahwa rumah itu pernah ditinggali sang legenda Betawi yang jago bela diri, Si Pitung.
Namun, tahukah Anda bahwa Si Pitung rupanya hanya sekadar singgah di rumah bergaya Bugis itu dan tidak pernah tinggal di sana?
Beberapa waktu lalu, Kompas.com menemui Sukma Wijaya, Staf Edukasi dan Informasi Museum Kebaharian Jakarta yang membawahi pengelolaan Rumah Si Pitung.
Rumah itu sebenarnya dimiliki seorang juragan tambak ikan asal Bugis bernama Haji Safiudin.
"Singgahnya itu entah dia memang berkawan dengan Haji Safiudin, sekadar ngumpet bersembunyi, atau mau merampok? Jadi masih teka-teki, yang pasti dia sempat singgah di sini," kata Sukma.
Si Pitung yang mempunyai nama asli Ahmad Nitikusumah memang dikenal sebagai perampok ulung.
Tak sedikit yang menjulukinya sebagai "Robin Hood" Betawi.
Pemberontak bagi Belanda, pahlawan bagi Betawi
Sukma mengatakan, Si Pitung memilih jalan sebagai perampok karena merasa sakit hati saat ia berusia 15 tahun.
Saat itu, hewan ternak milik orangtuanya dirampas orang Belanda dan Tionghoa.
"Sudah diambil ternaknya, diminta pajak juga. Akhirnya dia sakit hati dan dendam ke orang-orang kaya," ujarnya.
Sukma menuturkan, perguruan itu bernama Pituan Pitulung yang disingkat menjadi Pitung.
Di sanalah Ahmad Nitikusumah mendapat julukan sebagai Si Pitung.
"Ahmad Nitikusumah dibilang Si Pitung karena dia yang paling jago, paling lihai, dan paling sering melawan Belanda," katanya.
Meski dikenal sebagai perampok, Si Pitung tidak mengambil semua harta perampokan.
Ia membagikan hasil rampokan yang kepada rakyat yang ditemuinya.
"Jadi Si Pitung ini dianggap pemberontak oleh Belanda, tetapi buat orang-orang Betawi dianggap pahlawan," kata Sukma.
Tak tercatat sejarah
Bahkan, potret Si Pitung pun tidak pernah terekam.
"Kalau mau tahu gerakan Si Pitung pada masa itu, ya, dari koran-koran Belanda saja, koran kita (Indonesia) enggak ada yang menulis sama sekali. Terus enggak ada yang foto padahal fotografi sudah ada, lukisannya juga enggak ada," ucap Sukma.
Ia mengatakan, kisah Si Pitung terakhir tercatat pada 7 Juni 1896 oleh sebuah koran berbahasa Belanda.
Setelah itu, ada kabar Si Pitung dimutilasi ke dalam tiga bagian. Pasalnya, Si Pitung tidak akan mati secara total apabila tubuhnya tidak dipotong menjadi tiga bagian.
"Jadi sekarang ada masyarakat percaya bahwa di Slipi itu ada makam Si Pitung. Itu badannya Si Pitung, jadi itu makam hanya satu dan kepala sama kakinya konon dibawa ke Belanda," katanya.
Minim koleksi
Para pengunjung umumnya juga tidak mau menerima fakta bahwa rumah tersebut tidak pernah dihuni Si Pitung.
Sebab, hal itu dinilai bisa mengurangi "aura" rumah tersebut.
"Dari 100 pengunjung yang minta dijelaskan, ada pemandu itu paling 1-2 orang. Mereka datang sekadar melihat ngerasain masuk ke ruangan, merasakan aura ruangannya begitu," kata Sukma.
Ia menambahkan, minimnya bukti sejarah mengenai Si Pitung membuat objek wisata tersebut tidak mempunyai banyak koleksi.
Ke depannya, pihaknya berencana menambah koleksi terkait kebudayaan Betawi pada masa Si Pitung.
Rumah Si Pitung dibuka setiap hari pada pukul 08.00-17.00.
Harga tiket masuknya bervariasi, yakni Rp 1.500 untuk rombongan pelajar hingga Rp 5.000 untuk dewasa perseorangan.
Selain mengagumi arsitektur Rumah Si Pitung dan mempelajari sejarahnya, pengunjung juga bisa menikmati berbagai kebudayaan Betawi seperti tarian, silat, dan kuliner di Rumah Si Pitung.
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/05/12/09465991/mempelajari-sejarah-rumah-si-pitung-rumah-yang-tak-pernah-dihuni-si