KOMPAS.com - Semenjak Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) dan Staat Spoorwagen (SS) mengembangkan jalur kereta api di Pulau Jawa, perkembangan industri kereta api mulai ramai dan berkembang dengan baik.
Jalur kereta api mulai dibangun dan tersambung menghubungkan satu wilayah ke wilayah lain. Berawal untuk mengangkut hasil bumi dan perkebunan, industri ini bertransformasi untuk mengangkut manusia.
Kereta api dinilai memiliki keuntungan memangkas waktu yang lebih cepat daripada kendaraan lainnya. Bermula dari lokomotif uap kemudian dikembangkan menjadi lokomotif tenaga diesel dan listrik.
Lokomotif listrik pertama
Kereta api dengan lokomotif listrik pertama buatan Belanda mulai beroperasi di Jakarta pada 1925. Jenis lokomotif listrik digunakan agar pengoperasiannya lebih efisien.
Sebelumnya, jaringan rel elektrik mulai dibangun mulai 1923. Pembangunan ini untuk memberikan layanan pertama kereta listrik pertama waktu itu.
Dua tahun setelahnya, kereta untuk jalur ini bisa mencoba melintasi rel tersebut. Perusahaan yang mengelola perkeretaapian ini adalah Electrische Staats Spoorwegen (ESS). Mereka mendatangkan lokomotif khusus elektrik dari Perusahaan Werkspoor NV dari Belanda.
Lokomotif berjenis ESS 3200 dan ESS 3201 merupakan dua jenis kereta untuk melayani jalur listrik ini. Jalur Batavia (Jakarta) menuju Buitenzorg (Bogor) menjadi pelayanan dari kereta ini.
Karena memiliki bentuk yang unik dan lokomotif listrik pertama, lokomotif ini mendapat julukan sebagai Lokomotif Bonbon atau Djokotop.
Saat ini, Lokomotif Djokotop dipelihara di Balai Yasa Manggarai, Jakarta Selatan, dan hanya difungsikan untuk kegiatan tertentu.
Kini lokomotif dan dua kereta ini direncanakan akan dijadikan kereta wisata. Namun, kendalanya adalah masalah pada gearbox karena umur yang sudah tua dan tidak dapat diganti dengan gearbox baru.
Sistem perkeretaapian pada 1925 ini menjadi cikal-bakal perkembangan KRL hingga saat ini. Sejak 1925, elektrifikasi jalur kereta api mulai dibangun di Jabodetabek.
Berganti ke KRL Jepang
Setelah memberikan pelayanan selama puluhan tahun, pihak PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) memperbarui lokomotif buatan Belanda yang telah "tua". Perusahaan mendatangkan lokomotif dari Jepang pada era 1970-an.
Harian Kompas edisi 16 Mei 1972 menuliskan, sebanyak 10 set kereta listrik akan disiapkan untuk memenuhi kebutuhan kota Jakarta. Kereta tersebut mampu membawa sekitar 100 orang.
Pembaruan ini adalah untuk mengatasi lokomotif listrik buatan Belanda yang telah usang dengan memberikan penyegaran lokomotif baru. Kereta berjenis ini melayani daerah Jakarta, Tanjung Priok, Kemayoran, Pasar Senenm Jatinegara, Manggarai, Gambir, dan Tanah Abang.
Lokomotif listrik Jepang akhirnya memulai debutnya untuk mengantarkan penumpang untuk area Jabodetabek.
Pelayanan KRL terus diperbaiki secara bertahap, mulai dari tak ada penumpang di atap kereta, hingga PKL, maupun pengamen di dalam gerbong.
Pembenahan layanan KRL Jabodetabek diawali pada 2009. PT KAI membeli delapan unit kereta AC pertama seri 8500 yang dibentuk menjadi satu rangkaian KRL.
Saat itu, rangkaian KRL pertama ini dikenal dengan nama Jalita, akronim dari Jalan-jalan Lintas Jakarta.
PT KAI membentuk anak perusahaan yang khusus mengoperasikan KRL AC. Anak perusahaan ini diberi nama PT KAI Commuter Jabodetabek atau KCJ.
Pada 2013, Layanan KRL ekonomi di semua relasi dihapuskan sehingga seluruh perjalanan KRL di wilayah Jabodetabek dilayani oleh KRL commuter line.
Seiring “hilangnya” KRL ekonomi, penumpang pun tak ada lagi yang naik ke atap kereta. Akhirnya, Tahun 2017, KCJ berganti nama menjadi PT KAI Commuter Indonesia (PT KCI).
...
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/09/28/13482861/krl-jakarta-dari-era-belanda-hingga-hilangkan-tradisi-penumpang-di-atap