Retno mengatakan, hukuman tersebut bisa dikategorikan sebagai kekerasan fisik dan psikis, serta berpotensi kuat melanggar Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
“Apalagi jika push up dilakukan berpuluh kali tanpa mempertimbangkan kondisi anak, maka itu berpotensi menyakiti dan membahayakan anak tersebut. Ini masuk kategori kekerasan fisik,” ucap Retno melalui pesan tertulis, Senin (28/1/2019).
Retno mengatakan, tindakan sekolah juga dikategorikan dalam kekerasan psikis karena kondisi GNS tertekan dan merasa direndahkan hingga dipermalukan di lingkungan sekolah.
“Apalagi banyak temannya atau gurunya yang tahu kalau orangtuanya belum bisa melunasi uang SPP,” ucap Retno.
Retno menilai, seharusnya jika orangtua belum bisa melunasi SPP anak, sekolah tidak berhak melakukan penghukuman.
Anak harus tetap mendapatkan haknya atas pendidikan, seperti mengikuti pembelajaran dan ujian.
“Jadi kalau orangtua belum melunasi SPP, maka itu bukan salah si anak, tetapi itu kewajiban orangtuanya. Yang harus dipanggil, ditegur, dan disurati pihak sekolah adalah orangtuanya,” ujar Retno.
Retno mengatakan, dalam menekan pelunasan SPP sekolah anak, seharusnya sekolah bisa berkomunikasi langsung dengan para orangtua siswa. Bukan siswanya yang ditekan dan diperlakukan tidak wajar.
“Kalau ada perjanjian antara orangtua siswa dengan pihak sekolah saat mendaftar sekolah di tempat tersebut, maka perjanjian itu juga tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang ada,” tutur Retno.
Sebelumnya, GNS (10), siswi Sekolah Dasar Islam Terpadu Bina Mujtama dihukum push up sebanyak 100 kali karena belum melunasi uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP).
Usai kejadian itu, GNS juga mengaku jadi takut ke sekolah.
“Takut (ke sekolah lagi). Takut disuruh push up,” ucap GNS di rumahnya di Depok, Jawa Barat.
Ia mengungkapkan, setelah melakukan push up perutnya langsung merasa tidak enak.
“Sakit perutnya,” ujar GNS sambil memegang perutnya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/01/29/09454501/kpai-hukuman-push-up-100-kali-siswi-di-sdit-bina-mujtama-tergolong