JPU menyebutkan, salah satu contohnya adalah pernyataan kuasa hukum yang menganggap keonaran tidak terjadi akibat penyebaran berita bohong yang disampaikan Ratna.
"Penasihat hukum terdakwa terlalu dini (prematur) menyimpulkan keonaran tidak terjadi," kata anggota JPU Daru Tri Sadono dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (12/3/2019).
Jaksa menjelaskan, terjadi atau tidaknya keonaran harus dibuktikan oleh adanya dua alat bukti dan keyakinan hakim bahwa terdapat hubungan sebab-akibat.
Menurut jaksa, hal itu baru bisa dibuktikan dalam persidangan sehingga hal tersebut sudah menyangkut materi pokok perkara dan melampaui ruang lingkup eksepsi.
"Masalah benar atau tidaknya telah terjadi keonaran akibat perbuatan terdakwa itulah yang akan diuji dalam persidangan ini dengan memeriksa saksi-saksi dan alat bukti lainnya," ujar Daru.
JPU telah meminta hakim untuk menolak eksepsi yang dilayangkan kuasa hukum Ratna. Salah satu alasannya adalah nota keberatan yang telah nelampaui ruang lingkup eksepsi.
"Sudah melampaui batas ruang lingkup eksepsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 156 Ayat (1) KUHAP atau dengan kata lain sudah di luar pokok materi eksepsi dan telah masuk dalam pokok materi perkara," kata Daru.
Dalam sidang pekan lalu, tim pengacara Ratna menilai, JPU telah membuat kekeliruan dalam surat dakwaan terhadap klien mereka. Surat dakwaan JPU itu dinilai telah merugikan Ratna dan menyesatkan hakim dalam memeriksa dan mengadili kasus tersebut.
Ratna didakwa dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana. Jaksa juga mendakwa Ratna dengan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/03/12/12002761/jpu-nilai-eksepsi-kuasa-hukum-ratna-prematur