Penilaian ini merupakan opini WTP kedua yang diterima Pemerintah Provinsi DKI Jakarta setelah lima tahun terakhir.
Pemprov DKI sebelumnya mendapatkan opini wajar dengan pengecualian (WDP) empat tahun berturut-turut, yaitu pada 2013, 2014, 2015, dan 2016.
Pemprov DKI baru mendapat opini WTP atas laporan keuangan tahun 2017.
"Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2018, termasuk implementasi atas rencana aksi yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, maka BPK memberikan opini "Wajar Tanpa Pengecualian" atas LKPD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2018," kata Wakil Ketua BPK Bahrullah Akbar saat membacakan penialain di DPRD DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Rabu (15/5/2019).
Jajaran Pemprov DKI yang memadati ruang paripurna pun bertepuk tangan mendengar pidato Wakil Ketua BPK.
Mereka langsung membentangkan spanduk "Kita Bisa" dari balkon ruang paripurna.
Atas perolehan opini WTP ini, Gubernur Anies menyampaikan apresiasinya kepada aparatur sipil negara (ASN) yang telah mengupayakan WTP.
"Mereka semua bekerja siang-malam dalam arti yang sesungguhnya. Laporan- laporan audit itu bermunculan bisa jam 2-3 pagi. Minggu lalu mereka sahur di kantor. Mereka kerja all out untuk menyelesaikan ini semua," ujar Anies.
Masih ada temuan
Kendati demikian, DKI juga masih punya banyak temuan yang harus diselesaikan.
Wakil Ketua BPK Bahrullah Akbar mengatakan, temuan BPK antara lain mengenai pelaksanaan inventarisasi atas aset tetap yang belum selesai.
"Masih terdapat kelemahan dalam sistem informasi aset tetap," kata Bahrullah di DPRD DKI Jakarta, Rabu.
Selain itu, terdapat aset fasilitas sosial dan umum (fasos fasum) berupa tanah yang telah diserahkan kepada Pemprov DKI, tetapi masih dimanfaatkan pengembang.
Lalu, ada juga bangunan fasos dan fasum yang sudah selesai dibangun dan dimanfaatkan pengembang, tetapi belum diserahkan kepada Pemprov DKI.
“Serta adanya dana Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Mahasiswa Unggul (KMU) masih berada di rekening penampungan dan belum dimanfaatkan oleh penerima bantuan,” ujarnya.
BPK juga mengungkapkan temuan antara lain penyusunan anggaran pembangunan pada dua RSUD kurang memadai yang mengakibatkan jumlah pagu dan harga perkiraan sendiri (HPS) yang ditetapkan melebihi kebutuhan.
Juga masih terdapat kekurangan volume, ketidaksesuaian spesifikasi teknis pekerjaan dan ketidakpatuhan dalam proses pengadaan belanja barang/jasa dan belanja modal.
Serta keterlambatan penyelesaian pekerjaan yang belum atau kurang dikenakan denda keterlambatan pada beberapa SKPD.
Atas temuan ini, Inspektur DKI Jakarta Michael Rolandi mengakui pihaknya memang kesulitan menelusuri aset DKI sejak pertama pemerintahan provinsi terbentuk.
Upaya untuk menagih aset yang masih dikuasai pengembang sudah dilakukan para wali kota dan bupati.
"Kadang dokumen SIPPT-nya enggak ada. Pengembangnya udah enggak ada. Nanti ini kita tetapkan di majelis penetapan status aset. Kalau pengembang udah enggak ada bagaimana? Kan fasos fasum ini dibutuhkan masyarakat harus diperbaiki dipelihara. Nah nanti kami ambil alih saja lewat berita acara kalau memang pengembang tidak ada," ujar Michael.
Sementara, untuk temuan dana KJP yang mengendap di rekening, kata Michael, disebabkan banyak penerima KJP yang tak memanfaatkan uang yang diberikan.
"Pas mau diserahkan pesertanya enggak segera mengambil. Harusnya tahu sih kalau dia dapat KJP. Nanti saya tanya sama Disdik," ujarnya.
Berdasarkan Pasal 20 UU No 15/2004 mengamanatkan pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi LHP.
Pejabat wajib memberikan jawaban atas penjelasan kepada BPK terkait tindak lanjut atas rekomendasi LHP selambat-lambatnya 60 hari setelah LHP diterima.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/05/17/03100011/opini-wtp-yang-kembali-diraih-dki-dan-pr-yang-belum-selesai-