Salin Artikel

Cerita Bekasi, Gelanggang Sabung Nyawa Pejuang Kemerdekaan Indonesia

BEKASI, KOMPAS.com – Bekasi dijuluki Kota Patriot. Penamaan ini tidak sembarang. Meskipun warganet memandang sebelah mata, namun rupanya Bekasi merekam sejarah, bagaimana rakyat melawan kembalinya Belanda pascaproklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Dinukil dari buku Sejarah Singkat Kabupaten Bekasi (2019) karangan sejarawan Ali Anwar, Belanda datang lagi ke Pulau Jawa setelah Ir Soekarno menyatakan proklamasi kemerdekaan. Belanda datang diboncengi tentara sekutu, Inggris.

Pesawat sekutu mendarat darurat di Kampung Rawa Gatel, Cakung , 23 November 1945. Waktu itu, Cakung masih masuk dalam kewedanaan atau daerah tingkat II dari Bekasi.

Pejuang Bekasi kemudian melibas 26 orang tentara Sekutu. Penyerangan itu memantik peristiwa yang lebih besar skalanya.

Sekutu membakar pusat kota dan kampung-kampung di Bekasi pada 13 Desember 1945.

Di lain sisi, Jakarta sudah ditetapkan sebagai kota diplomasi sehingga Tentara Keamanan Rakyat (TKR) diperintahkan mundur ke luar Jakarta.

Awal tahun 1946, kondisi darurat memaksa Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta memindahkan ibukota ke Yogyakarta.

Belanda dan Sekutu ada di Jakarta, sedangkan tentara Indonesia berada di luarnya, dengan persebaran paling banyak di sisi timur Jakarta: Bekasi, Cikarang, Cikampek dan Karawang.

Letaknya yang berdampingan langsung dengan Jakarta membuat Bekasi jadi garda terdepan perlawanan terhadap Belanda.

Padahal, pusat komando ada di Karawang. Tetapi, tapal batas penjajah-pribumi saat itu ada di Kali Cakung yang membentang hingga Cilincing serta Kali Buaran yang memanjang sampai Cileungsi.

Sulit Ditaklukkan

Ali Anwar mengatakan, Bekasi punya keistimewaan tersendiri dibandingkan kota-kota lain sehingga layak dinobatkan sebagai Kota Patriot.

"Bayangkan, April 1946, Belanda sudah bisa masuk ke Bandung, dengan sebelumnya lewat Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Tapi, bulan Juni 1946, Belanda cuma baru menguasai wilayah yang awalnya dari Kali Cakung, sampai ke Kali Bekasi," jelas Ali saat berbincang dengan Kompas.com, Jumat (16/8/2019).

Serangan Belanda secara masif pada 10 Juni 1946 merobek pertahanan Bekasi di Kali Cakung hingga sebelah barat Kali Bekasi.

Untuk membendung laju pasukan Belanda, pejuang Bekasi memutus jembatan jalan raya Kali Bekasi tiga hari berselang.

"Para pejuang selalu mengatakan, Bekasi yang paling sulit ditembus. Belanda untuk menembus Bekasi dengan semua daya dan upaya, termasuk militernya yang paling kuat. Itu masih agak sulit menembus Bekasi," imbuh Ali.

Kesulitan penjajah menguasai Bekasi disebabkan oleh pola perjuangan rakyat Bekasi yang tidak hanya bertahan, namun juga menyerang secara sporadis.

Ali menyebut, bersama para tentara, rakyat Bekasi kerap bergerilya melancarkan serangan sporadis terhadap penjajah. Apalagi, warga Bekasi dikenal sebagai kampungnya para jawara silat.

"Bekasi dijajah empat lapis. Belanda, Jepang, tuan-tuan tanah Cina dan pribumi yang berkhianat. Itu menciptakan kemiskinan ekonomi dan pendidikan. Akhirnya, Bekasi melahirkan jawara yang melakukan perlawanan," tutur Ali.

"Begitu masuk era revolusi, mereka muncul kembali, bergabung ke NKRI melawan. Walaupun tidak bisa dimungkiri, beberapa jawara juga jadi pengkhianat," lanjut dia.

Rakyat melawan dengan senjata apa saja, terutama golok. Senjata yang telah dipakai saban hari oleh orang Bekasi ini akhirnya menjelma ujung tombak peperangan.

"Lebih dari itu, orangtua-orangtua di Bekasi bahkan menghibahkan anaknya untuk masuk dalam pasukan tentara," kata Ali berdasarkan kesaksian Komandan Batalyon V Bekasi saat itu, Mayor Sambas Atmadinata.

"Yang bikin Mayor Sambas bangga, kalau anak Bekasi berjuang lalu meninggal di medan tempur, orangtuanya tidak menangis karena anaknya meninggal sebagai syuhada, berjuang untuk kepentingan bangsa, negara, dan agama. Tidak ada tuntutan jika anaknya meninggal di medan tempur. Berbeda dengan di tempat lain," lanjut dia.

Militansi para pejuang Bekasi inilah yang membuat prajurit Belanda takut. Bagi mereka, Bekasi merupakan daerah neraka.

Bahkan, di antara tentara Belanda saat itu dikenal istilah "sindrom Bekasi". Para prajurit ogah-ogahan ketika dikirim ke sana. Sampai ada yang berpura-pura sakit agar tidak dikirim ke sana.

Mengapa Bekasi?

Meskipun neraka bagi para prajurit Belanda, namun bukan lantas mereka meninggalkannya dari sasaran penguasaan. Mereka tetap bersyahwat mendudukinya.

Bagi Belanda, menundukkan Bekasi artinya menjebol benteng pertama untuk menguasai titik-titik strategis berikutnya, yakni Karawang, Subang dan Purwakarta.

Nafsu Belanda mengangkangi kota ini begitu tinggi karena wilayah ini juga memegang peran krusial sebagai suplai logistik.

"Misi mereka untuk menguasai pertanian dan perkebunan, bukan sekadar menguasai wilayah. Kalau sampai Juli 1947 mereka gagal menguasai Bekasi, Karawang, Subang, dan Purwakarta, kemungkinan tentara mereka di Jakarta kehabisan logistik. Jadi, penaklukkan Bekasi itu juga untuk merebut beras dan menguasai suplai logistik," ujar Ali.

Baru pada Maret 1947, Belanda perlahan-lahan berhasil menjebol pertahanan pejuang Bekasi.

Tepatnya dimulai ketika disepakati Perjanjian Linggarjati di mana tapal batas Bekasi bergeser dari Kali Bekasi ke Kali Ciketing, Sasak Jarang, sebelah timur Bulak Kapal.

Di samping itu, sistem pertahanan yang kalah jauh dibandingkan Belanda membuat para pejuang Bekasi terus terdesak mundur.

Hal itu kian parah ketika Laskar Rakyat Jakarta Raya, yang mulanya berbagi barak dengan tentara Indonesia, malah memberontak.

Pemberontakan yang menyebar dari Tambun sampai Karawang itu meletus pada 1947 dan menimbulkan perang saudara.

Anggota laskar kemudian ditendang; sebagian besar melarikan diri ke Jakarta.

Saat kekuatan Indonesia mengendur akibat pemberontakan itu, Belanda melancarkan agresi militer pertamanya pada 21 Juli 1947. Pertahanan Bekasi akhirnya bobol sampai Karawang.

"Belakangan baru diketahui, mereka (Laskar Rakyat Jakarta Raya) memang jadi mata-mata Belanda. Setelah peristiwa pemberontakan itu, sebagian melarikan diri ke Jakarta dan bergabung dengan Belanda," ujar Ali.

"Tanggal 21 Juli 1947, posisi mereka ada di lokomotif kereta. Penyerangan saat itu kan lewat jalur udara, mobil dan kereta api. Nah, orang-orang pemberontak itu di kereta api, kelihatan betul di lokomotif".

"Ayah saya melihat sendiri, si ini, si itu, kok dia bersama Belanda, ketika terlihat di paling depan di lokomotif itu," lanjut Ali.

Pada akhirnya, Belanda memang angkat kaki dari Bekasi. Juga dari republik. Tepatnya selepas agresi militer II pada 1949.

Seiring itu, Bekasi pun dikenang sebagai gelanggang sabung nyawa para pejuang mempertahankan negara.

Fenomena ini bahkan jadi inspirasi berbagai begawan seniman kenamaan Indonesia pada awal masa kemerdekaan.

Komponis Ismail Marzuki juga menggubah tembang berjudul Melati di Tapal Batas.

Sastrawan Pramoedya Ananta Toer pun tak ketinggalan. Ia mewedarkan novel sejarah Di Tepi Kali Bekasi dan Kranji Jatuh.

Pujangga Chairil Anwar mendedahkan sajak lirih nan menggetarkan soal kegigihan para patriot yang gugur di Bekasi dalam Krawang-Bekasi (1948).

Bunyinya, "kami cuma tulang-tulang berserakan. Tapi adalah kepunyaanmu. Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan. Kenang, kenanglah kami. Teruskan, teruskan jiwa kami. Menjaga Bung Karno, menjaga Bung Hatta, menjaga Bung Sjahrir. Kenang, kenanglah kami yang tinggal tulang-tulang diliputi debu. Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi".

https://megapolitan.kompas.com/read/2019/08/17/07374231/cerita-bekasi-gelanggang-sabung-nyawa-pejuang-kemerdekaan-indonesia

Terkini Lainnya

Polisi Selidiki Penemuan Mayat Pria Terbungkus Kain di Tangsel

Polisi Selidiki Penemuan Mayat Pria Terbungkus Kain di Tangsel

Megapolitan
Polisi Tes Kesehatan Epy Kusnandar Usai Ditangkap Terkait Kasus Narkoba

Polisi Tes Kesehatan Epy Kusnandar Usai Ditangkap Terkait Kasus Narkoba

Megapolitan
Tersangkut Kasus Narkoba, Epy Kusnandar dan Yogi Gamblez Ditangkap Dalam Kondisi Sadar

Tersangkut Kasus Narkoba, Epy Kusnandar dan Yogi Gamblez Ditangkap Dalam Kondisi Sadar

Megapolitan
Mayat yang Ditemukan Dalam Sarung di Pamulang Berjenis Kelamin Pria dan Berusia Sekitar 40 Tahun

Mayat yang Ditemukan Dalam Sarung di Pamulang Berjenis Kelamin Pria dan Berusia Sekitar 40 Tahun

Megapolitan
Polisi Otopsi Mayat Pria Terbungkus Kain yang Ditemukan di Tangsel

Polisi Otopsi Mayat Pria Terbungkus Kain yang Ditemukan di Tangsel

Megapolitan
Polisi Temukan Luka di Leher dan Tangan pada Jasad Pria Dalam Sarung di Pamulang

Polisi Temukan Luka di Leher dan Tangan pada Jasad Pria Dalam Sarung di Pamulang

Megapolitan
Angkot di Ciracas Tabrak Motor dan Mobil akibat 'Ngebut'

Angkot di Ciracas Tabrak Motor dan Mobil akibat "Ngebut"

Megapolitan
 Mayat Terbungkus Kain Ditemukan di Pamulang, Tangsel

Mayat Terbungkus Kain Ditemukan di Pamulang, Tangsel

Megapolitan
Polresta Bogor Tangkap 6 Pelaku Tawuran, Dua Orang Positif Narkoba

Polresta Bogor Tangkap 6 Pelaku Tawuran, Dua Orang Positif Narkoba

Megapolitan
Dilempar Batu oleh Pria Diduga ODGJ, Korban Dapat 10 Jahitan di Kepala

Dilempar Batu oleh Pria Diduga ODGJ, Korban Dapat 10 Jahitan di Kepala

Megapolitan
Terbentur Aturan, Wacana Duet Anies-Ahok pada Pilkada DKI 2024 Sirna

Terbentur Aturan, Wacana Duet Anies-Ahok pada Pilkada DKI 2024 Sirna

Megapolitan
Pria Diduga ODGJ Lempar Batu ke Kepala Ibu-ibu, Korban Jatuh Tersungkur

Pria Diduga ODGJ Lempar Batu ke Kepala Ibu-ibu, Korban Jatuh Tersungkur

Megapolitan
Epy Kusnandar dan Yogi Gamblez Positif Narkoba

Epy Kusnandar dan Yogi Gamblez Positif Narkoba

Megapolitan
Prakiraan Cuaca Jakarta Sabtu dan Besok: Tengah Malam Berawan

Prakiraan Cuaca Jakarta Sabtu dan Besok: Tengah Malam Berawan

Megapolitan
Pencuri Motor yang Dihakimi Warga Pasar Minggu Ternyata Residivis, Pernah Dipenjara 3,5 Tahun

Pencuri Motor yang Dihakimi Warga Pasar Minggu Ternyata Residivis, Pernah Dipenjara 3,5 Tahun

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke