Salin Artikel

Tak Sesuram Bayangan, Bagaimana Penampakan Kampung Kusta?

KAMPUNG kusta. Namanya mungkin langsung bikin kita bergidik. Terlebih lagi bila bayangan yang berkelabat adalah gambaran yang keliru.

Di kepala kami, bayangan soal kampung yang seluruhnya adalah penderita kusta tak dimungkiri juga ada. 

Namun, apa yang kami—tim dari Kompas.com, Litbang Kompas, dan Kompas TV—temui pada Selasa (20/8/2019) membantah bayangan-bayangan tersebut.

Pada hari itu, kami bertandang ke Kampung Sitanala di Kelurahan Karangsari, Neglasari, Kota Tangerang, Banten. Inilah yang kerap disebut sebagai Kampung Kusta di Tangerang.

Semula, kami mengandalkan aplikasi peta di ponsel untuk mencari lokasi kampung ini. Ternyata tak ada. 

Bertanya. Cara itu terbukti lebih efektif. Dengan bertanya ke petugas RS Sitanala, kampung ini pun langsung bisa dituju. 

Jaraknya terpaut sekitar 500 meter dari rumah sakit tersebut. 

Memasuki kampung ini, suasana tak sesuram yang kami perkirakan. Tampak tiga lelaki tengah menikmati es teh di tengah terik siang di bangunan semacam saung terbuka.

Di belakang mereka, terlihat lorong perkampungan yang cukup dilintasi kendaraan roda dua.

Tata letak bangunan rapi, kondisinya juga terlihat bersih. Seorang ibu tampak sedang menimang anak balita.

Lalu seorang lelaki paruh baya melintas dan tersenyum saat disapa. Penasaran kami soal kusta dan kampung ini menguat, saat melihat lelaki ini berjalan dengan bantuan tongkat kayu.

Kaki kanannya terlihat hanya menjulur sampai ke lutut. Kembali bayangan awal bahwa akan ada banyak orang dengan kondisi ini di Kampung Kusta berkelabat.

Namun, tentu saja, rasanya tak sopan jika kami menyelonong masuk ke dalam kampung. Kami pun menyapa tiga lelaki yang sedang berbincang santai di saung tadi.

Tak disangka, kami justru langsung berjumpa dengan salah satu orang yang telah bertahun-tahun mengenal kampung ini.

Namanya, Raslijar Azwar. Dia juga bukan penderita ataupun mantan penderita kusta.

Kampung berusia 38 tahun

Setelah percakapan awal, Raslijar bercerita panjang lebar tentang kampungnya. 

"Di sini ada 5 RT (rukun tetangga). Dulunya disebut Kampung Transit," ujar Raslijar.

Keberadaan kampung tersebut berkait erat dengan RS Sitanala. Awalnya, penghuni kampung adalah mereka yang sedang menjalani pengobatan di rumah sakit itu.

"1981 dibikin Kampung Transit (bagi penderita kusta) untuk rawat jalan sebulan atau dua bulan sekali," lanjut dia.

Namun, karena banyak pasien yang kemudian tak diterima kembali oleh keluarga, akhirnya kampung tersebut didirikan secara paten oleh pemerintah dan dikhususkan bagi penderita kusta.

Kampung ini semakin ramai karena banyak penderita kusta tak ingin balik ke kota atau kampungnya. Keluarga-keluarga baru pun bermunculan. 

"Biasanya sesama penderita dulu ke sini saling kawin," ujarnya.

Raslijar mengaku bukan asli penduduk kampung ini. Akan tetapi sejak kecil dia terbiasa bermain ke sini. 

Bukan tanpa alasan, kedua orangtuanya bekerja di RS Sitanala dan sering mengunjungi Kampung Kusta. Lama-lama, terbiasa.

Saat ini, Raslijar juga bekerja di RS Sitanala. Lokasi rumahnya sekarang juga tak jauh dari Kampung Kusta. Menariknya, dia mengaku lebih sering nongkrong di kampung ini dibanding di kawasan rumahnya sendiri. 

Raslijar pun menegaskan, penghuni Kampung Sitanala tak lagi hanya penderita atau mantan penderita kusta. Tak sedikit warga tanpa penyakit itu tinggal di sana. 

"Di sini sudah campur. Ada yang keluarganya penderita kusta datang dan tinggal di sini. Ada lagi karena rumah dan kontrakan yang disewakan," tutur Raslijar.

Masuk perkampungan

Penjelasan Raslijar tak cukup membuat kami puas. Bukankah harusnya kampung ini hanya untuk para penderita atau mantan penderita kusta dan keluarganya? 

Pertanyaan itu langsung berjawab saat kami menjumpai Ibu Nani. Penampakannya sehat tanpa ada gejala apalagi bekas kusta. 

Ketika ditanya, dia dengan ramah membenarkan bahwa dia bukan penderita atau mantan penderita kusta. 

Perempuan berusia 37 tahun ini tinggal di situ karena mengontrak salah satu rumah, bersama suami dan satu anak berusia 5 tahun.

"(Sudah) 4 tahun (tinggal di sini), senang saja. Semua orang kan enggak mau sakit. Wallahu a'lam," kata Nani.

Nani pun mengaku nyaman-nyaman saja berinteraksi dengan penghuni lain di kampung ini sekalipun memperlihatkan tanda mantan penderita kusta.

"Fisiknya mereka doang yang cacat tapi hatinya baik. Daripada di perumahan (yang interaksinya) lu gue, di sini berbaur. Ibarat kalau kita enggak punya, mereka bantu," tutur Nani.

Ia juga mengaku tak segan menitipkan anaknya kepada tetangga saat harus pergi keluar rumah bersama suaminya. 

"Jiwa sosial mereka tinggi. Anak main sering dititipin juga enggak apa-apa," kata dia.

Warga baru

Berbeda dengan Nani yang tinggal di Kampung Kusta karena mengontrak, Hendra berada di sana karena harus menjalani pengobatan di RS Sitanala.

Lelaki 36 tahun ini baru empat bulan di Kampung Sitanala. Secara berkala dia harus memeriksakan kondisinya ke rumah sakit. 

"Di (RS) Sitanala rawat jalan. Minimal 3 bulan sekali masa surat jalannya habis baru balik lagi ke rumah sakit," ujarnya.

Mengikuti saran dokter, Hendra pun tak banyak beraktivitas. Daya tahan tubuhnya harus dijaga baik-baik. Berobat dan istirahat mendominasi aktivitas hariannya. 

"Enggak boleh kerja. Harus istirahat biar obat cepat dan gampang reaksi. Harus jaga daya tahan tubuh," ungkap Hendra.

Saat ini dia tinggal di satu rumah bersama seorang kawan. Hendra berkeyakinan bisa sembuh dari penyakit yang sekarang sedang dia lawan itu.

"Yang penting pengobatan rutin enggak boleh minum obat terlewat sehari pun semoga tak banyak yang terjadi," tutupnya.

Ikuti juga liputan khusus Ada Kusta di Antara Kita di Kompas.com

Cerita ini bukan satu-satunya kisah dari Kampung Kusta. Dalam tulisan terpisah akan tersaji sejumlah upaya warga yang juga mantan penderita kusta untuk melawan stigma dan berdaya.

https://megapolitan.kompas.com/read/2019/09/09/10395851/tak-sesuram-bayangan-bagaimana-penampakan-kampung-kusta

Terkini Lainnya

Menyusuri Jalan yang Dilalui Para Korban Tragedi 12 Mei 1998...

Menyusuri Jalan yang Dilalui Para Korban Tragedi 12 Mei 1998...

Megapolitan
Sosok Dimas Aditya Korban Kecelakaan Bus Ciater Dikenal Tak Mudah Marah

Sosok Dimas Aditya Korban Kecelakaan Bus Ciater Dikenal Tak Mudah Marah

Megapolitan
Dua Truk TNI Disebut Menerobos CFD Jakarta, Ini Klarifikasi Kapendam Jaya

Dua Truk TNI Disebut Menerobos CFD Jakarta, Ini Klarifikasi Kapendam Jaya

Megapolitan
Diiringi Isak Tangis, 6 Korban Kecelakaan Bus Ciater Dimakamkan di TPU Parung Bingung

Diiringi Isak Tangis, 6 Korban Kecelakaan Bus Ciater Dimakamkan di TPU Parung Bingung

Megapolitan
Titik Terang Kasus Mayat Terbungkus Sarung di Pamulang: Terduga Pelaku Ditangkap, Identitas Korban Diketahui

Titik Terang Kasus Mayat Terbungkus Sarung di Pamulang: Terduga Pelaku Ditangkap, Identitas Korban Diketahui

Megapolitan
3 Pelajar SMK Lingga Kencana Korban Kecelakaan Bus Dishalatkan di Musala Al Kautsar Depok

3 Pelajar SMK Lingga Kencana Korban Kecelakaan Bus Dishalatkan di Musala Al Kautsar Depok

Megapolitan
Isak Tangis Iringi Kedatangan 3 Jenazah Korban Kecelakaan Bus Ciater: Enggak Nyangka, Pulang-pulang Meninggal...

Isak Tangis Iringi Kedatangan 3 Jenazah Korban Kecelakaan Bus Ciater: Enggak Nyangka, Pulang-pulang Meninggal...

Megapolitan
Terduga Pembunuh Pria Dalam Sarung di Pamulang Ditangkap

Terduga Pembunuh Pria Dalam Sarung di Pamulang Ditangkap

Megapolitan
Pemprov DKI Lepas Ratusan Jemaah Haji Kloter Pertama Asal Jakarta

Pemprov DKI Lepas Ratusan Jemaah Haji Kloter Pertama Asal Jakarta

Megapolitan
Pesan Terakhir Guru SMK Lingga Kencana Korban Kecelakaan Bus di Ciater Subang

Pesan Terakhir Guru SMK Lingga Kencana Korban Kecelakaan Bus di Ciater Subang

Megapolitan
Gratis Untuk Anak Pejuang Kanker, Begini Syarat Menginap di 'Rumah Anyo'

Gratis Untuk Anak Pejuang Kanker, Begini Syarat Menginap di 'Rumah Anyo'

Megapolitan
Gelar 'Napak Reformasi', Komnas Perempuan Ajak Masyarakat Mengingat Tragedi 12 Mei 1998

Gelar "Napak Reformasi", Komnas Perempuan Ajak Masyarakat Mengingat Tragedi 12 Mei 1998

Megapolitan
Jatuh Bangun Pinta Mendirikan 'Rumah Anyo' Demi Selamatkan Para Anak Pejuang Kanker

Jatuh Bangun Pinta Mendirikan 'Rumah Anyo' Demi Selamatkan Para Anak Pejuang Kanker

Megapolitan
Saat Epy Kusnandar Ditangkap karena Narkoba, Diam Seribu Bahasa

Saat Epy Kusnandar Ditangkap karena Narkoba, Diam Seribu Bahasa

Megapolitan
Misteri Mayat Pria Terbungkus Sarung di Pamulang, Diduga Dibunuh Lalu Dibuang

Misteri Mayat Pria Terbungkus Sarung di Pamulang, Diduga Dibunuh Lalu Dibuang

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke