Hasilnya, banyak warga yang mengeluhkan batuk-batuk saat melakukan aktivitas pagi hari.
"Salah satunya Pak Hartono pemilik warteg yang sudah tinggal 5 tahun di lokasi tersebut. Menurut pengakuan beliau pada saat pagi hari sering merasakan gejala batuk-batuk," kata Kepala Puskesmas Kecamatan Cilincing Edison Sahputra saat ditemui di kantornya, Senin (16/9/2019).
Edison mengatakan, industri itu biasanya aktif melakukan pembakaran pada pukul 18.00 WIB hingga 06.00 WIB.
Setelah produksi selesai, paginya sering tertinggal asap yang berupa seperti kabut.
Asap kabut itulah yang menjadi sumber yang dipermasalahkan warga sekitar.
Pihak Puskemas juga menginvestigasi ke Sekolah SDN Cilincing 07 Pagi yang berada beberapa ratus meter dari lokasi industri.
Dari investigasi itu ditemukan bahwa 233 dari 400 siswa SDN Cilincing 07 Pagi banyak yang mengeluhkan batuk. Terutama bagi siswa yang tinggal di kawasan Rawa Malang.
"Setiap apel harian pada pukul 07.00 WIB hingga pukul 08.00 WIB, sering ada asap seperti kabut. Pada saat belajar di dalam kelas sering terdapat kondisi udara yang berkabut," ujar Edison.
Kondisi ruang kelas yang seperti itu membuat mata perih dan batuk-batuk sehingga tak jarang jam belajar di hentikan sementara.
Tanaman-tanaman yang tumbuh di pekarangan sekolah juga sangat berdebu karena terpapar asap dari arang.
Berdasarkan temuan tersebut, Puskemas berencana melakukan sosialisasi terkait asap yang bisa menyebabkan infeksi saluran pernafasan tersebut.
"Kami akan melakukan kunjungan ke pabrik arang untuk melakukan edukasi lebih lanjut terkait ISPA yang mengarah ke pneumonia dan bronkitis akut kepada pekerja pabrik arang," tutur Edison
Puluhan lapak industri pembakaran arang dan alumunium yang kerap mengeluarkan asap tebal dan bau menyengat ini dikeluhkan oleh warga sekitar.
Salah seorang guru SDN Cilincing 07 pagi berinisial S mengalami pneumonia akut. Diduga penyakit gangguan pernapasan itu disebabkan paparan asap pembakaran arang dan peleburan timah yang tak jauh dari sekolah tersebut.
Atas peristiwa tersebut, para wali murid mengkhawatirkan kondisi kesehatan dari anak-anak mereka yang bersekolah di sana.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berencana untuk menertibkan indstri rumahan tersebut.
Pasalnya, puluhan lapak tersebut dinilai menghasilkan asap yang mencemari lingkungan dan membahayakan warga sekitar.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, puluhan lapak tersebyt kemungkinan akan ditutup.
Pasalnya, puluhan lapak tersebut dinilai menghasilkan asap yang mencemari lingkungan dan membahayakan warga sekitar.
"Pembuatan arang itu juga melakukan pembakaran tidak boleh, dan ini yang salah satu bagian dari instruksi gubernur Nomor 66 Tahun 2019 semua kegiatan yang menyisakan asap itu harus ada ukurannya. Penutupan mungkin dilakukan," ujar Anies.
Mudin Pati, salah satu pemilik usaha pembakaran arang meminta pemerintah mencarikan lokasi baru untuk mereka.
"Jadi kalau kita kan begini, intinya kita berusaha di sini mencari nasi sesuap lah, kalaupun tidak ada jalan keluarnya lagi, enggak ada toleransi lagi kita minta tolong sama pemerintah setempat kita mencarikan lokasi di mana kita,"kata Mudin kepada wartawan di Cilincing, Jakarta Utara, Jumat (13/9/2019).
Mudin telah menjalankan usaha pembakaran arang batok dari tahun 1996 di lokasi tersebut. Namun belakangan mereka sering mendapatkan protes dari masyarakat.
Beberapa kali mediasi telah ia lakukan bersama dengan perwakilan warga.
"Jadikan kita beberapa kali rapat. Kita diusulkan pakai cerobong, kita kan jalanin. Sudah jalanin sekian bulan ternyata ada lagi protes gini gini. Tempo hari kita diusulkan dari jam 18.00 sore sampai jam 06.00 pagi kita operasional ternyata kita sudah enak," ucapnya.
Mudin mengatakan dia justru lebih senang jika mendapatkan pembinaan UMKM. Karena, dengan pembinaan, mereka bisa memperoleh izin usaha dan bisa meminjam uang di bank untuk modal usaha.
"Diajukan ke bank bilang ke Pak Wali Kota untuk pinjam Rp 1 Miliar kita bikin PT enggak usah kita di sini," tuturnya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/09/16/14071251/puskesmas-cilincing-banyak-warga-mengeluh-batuk-dampak-industri-peleburan