BANTEN, KOMPAS.com - Air mata Aci (50) terus mengalir membasahi pipinya. Kalimat bicaranya terbata-bata jika harus mengingat banjir bandang dan longsor yang melenyapkan tempat tinggalnya.
Rumah petakan Aci menjadi salah satu dari 89 kartu keluarga (KK) terdampak di RT 01 RW 02 Kampung GunungJulang, Desa Lebak Situ, Kecamatan Lebak Gedong, Kabupaten Lebak, Banten, pada Rabu (1/1/2020) lalu.
Ditemui Kompas.com, Minggu (12/1/2020) malam, Aci mengaku bencana itu masih terekam dalam ingatannya.
Hanya beberapa jam saja setelah dia dan keluarga mengevakuasi diri, dinding rumah mereka hancur.
"Jadi hujan deras itu jam 3 pagi. Kita lihat sudah ada tanda-tanda. Air kolam keruh dan lantai keluar air. Akhirnya kami selamat diri ke bawah dan itu kelihatan rumah tahu-tahu sudah ditimbun air dan tanah," kata dia di pengungsian.
Saat itu, Aci dan suaminya Satim bingung dan saling tatap. Mereka bertanya-tanya ke mana harus berlindung.
Perkampungan yang mereka huni sudah dipenuhi air dan tanah.
Bagi Aci, saat itu yang paling penting adalah tiga anak dan satu cucu yang selamat dalam pelukannya di tengah guyuran hujan.
"Ada sedih, ada bersyukurnya karena keluarga semua selamat. Saya tidak sempat bawa apa-apa. Lemari, televisi semua habis. Sampai sandal pun saya tidak bawa saat itu," ucapnya.
Di tengah kebingungan bersama para korban lain saat itu, Aci hanya berdoa adanya orang baik yang menampung keluarganya.
Mulut tersebut belum berhenti mengucap, Aci dan keluarga ditawari tinggal di salah satu rumah warga beda RT yang tak kena banjir.
"Ada Pak Haji saat itu bilang rumahnya kosong katanya suruh tempati asal dibersihkan aja. Alhamdulillah saya bilang dalam hati saat itu. Korban lain juga pada kebanyakan di rumah warga, jadi tidak ada pengungsian tenda itu" kata Aci.
Kini dua pekan sudah Aci dan keluarga mengungsi. Berteduh dari panas dan hujan yang tidak menentu setiap hari di rumah sederhana bercat putih berlantai hijau.
Mereka harus beraktivitas dalam gelap karena listrik belum kembali menyala.
Tidur pun hanya beralas tikar di atas lantai dingin berembun.
"Iya sudah dua minggu gelap gini. Tidur sama keluarga pakai tikar karena barang tidak ada yang terbawa," katanya seiring mengusap air mata.
Suami Aci, Satim mengaku rindu dengan rumahnya. Meskipun tempat mengungsi yang mereka huni berukuran lebih besar.
"Saya, anak-anak sama cucu sudah tidak betah. (rumah) besar berlantai tapi bukan milik. Enak rumah sendiri, tapi sudah hancur. Sempat lihat kemarin, lumpur di rumah sudah sepinggang," ucap Satim.
Belum lagi hidup harus bergantung kepada bantuan orang lain di pengungsian karena lahan yang selama ini untuk ditanami padi, pisang dan singkong sebagai mata pencaharian rata saat bencana.
Akses jalan yang terputus karena longsor pun dimanfaatkan masyarakat lain untuk mencari keuntungan.
Harga gas yang sebelumnya hanya Rp 20 ribu, kini mencapai Rp 80 ribu. Belum lagi bensin eceran, dari awalnya Rp 10 ribu, saat ini menjadi Rp 30 ribu per-liternya.
"Semua bahan pada naik. Jadi masak pakai kayu. Alhamdulillah bantuan dari dua hari bencana itu ada aja yang datang beras minyak dan lain ada aja," katanya.
Kini, Satim berharap juga ada bantuan atau solusi untuk mendapatkan tempat tinggal.
Karena penghasilan dari bertani tak cukup untuk membeli bahan bangunan, apalagi sepetak tanah.
"Saya petani. Semua kebanyakan petani di sini. Buat bisa punya tanah dan rumah, susah. Tidak ada uang. Kita mau hari-hari mau makan saja, jual kayu bakar. Harapannya ada bantuan tempat tinggal saja, " tutupnya berharap.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/01/13/14413981/kisah-keluarga-aci-bertahan-hidup-setelah-rumah-diterpa-banjir-dan