Salin Artikel

Kisah Rumah Tua Pondok Cina, Jejak Etnis Tionghoa di Depok

Di situ ada pula situs bersejarah yang menjadi saksi bisu perkembangan kota Depok. 

Namun, tahukah kamu kenapa wilayah itu dinamakan Pondok Cina?

Nama Pondok Cina tak terlepas dari sebuah rumah tua yang dibangun oleh pemiliknya, seorang arsitek Belanda, pada 1841.  

Menurut penuturan Ketua Ahli Cagar Budaya Kota Depok Tri Wahyuning M. Irsyam yang akrab disapa dengan Titi kepada Kompas.com, nama Pondok Cina telah tercantum dalam catatan VOC dan Peta Depok di tahun 1726.

Sejalan dengan hal tersebut, Cornelis Chastelein yang merupakan pendiri Kota Depok dalam surat wasiatnya, juga menyebut daerah yang dikenal dengan nama Pondok Cina.

Dalam surat wasiatnya itu, Cornelis Chastelein melarang para pedagang asal China untuk tinggal di Depok.

Orang China dilarang tinggal di Depok karena mereka dianggap sebagai sumber kerusuhan.

Orang-orang tersebut pun dikenal sebagai orang yang suka meminjamkan uang dengan bunga tinggi.

Lebih lanjut, Titi menuturkan bahwa pada pertengahan abad ke-19, rumah tersebut dibeli oleh keluarga Lauw yang kemudian mewariskannya kepada keturunannya.

Di sekitar rumah tua ini, terdapat perkebunan karet dan persawahan.

Setelah matahari terbenam, para pedagang China harus keluar dari Depok, dan sebagian dari mereka ada yang tinggal di sekitar Rumah Tua Pondok Cina.

Kegiatannya bukan hanya bergadang, beberapa di antara mereka ada juga yang bekerja sebagai petani di sawah, serta bekerja di ladang kebun karet milik tuan tanah orang-orang Belanda. 

Tidak semua pedagang China bertempat tinggal di Pondok Cina, di antara mereka ada juga yang tinggal di Cisalak.

Mereka adalah penganut ajaran Konghuchu, dan mayoritas berasal dari daerah provinsi Fu Jian, China Selatan.

Mereka disebut orang Hokian. Dengan demikian, secara historis, dapat dikatakan bahwa orang China awalnya mendiami perkebunan karet di sekitar Rumah Tua Pondok Cina.

Dalam statistik residensi Bogor di tahun 1861, tampak penyebaran orang-orang China, di antaranya di Pondok Terong/Ratu Jaya tercatat 93 orang, Cinere (86 orang), dan di Tanah Partikelir Pondok Tjina (74 orang).

Orang China yang ada di kawasan Pondok Cina, bermukim di Kampung Kemiri Muka, Depok.

Sementara menurut Titi, di Tanah Partikelir Depok, orang China tercatat hanya 32 orang.

Mengenai Depok, Titi menyatakan bahwa setelah membeli tanah tersebut, Chastelein (1657-1714) lebih banyak tinggal di Batavia.

Ia baru memberikan perhatian kepada tanah Depok ini pada tahun 1705.

Ada dugaan bahwa pada saat itu Cornelis Chastelein memasuki masa persiapan pensiun dari dinas VOC, karena usianya mencapai 57 tahun.

Ketika pindah ke Seringsing (Srengseng), Chastelein bukan hanya membawa keluarganya, melainkan juga membawa budak-budaknya.

Dari catatan yang dihimpun oleh Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, para budak yang dipindahkan ke Depok, berasal dari berbagai daerah di Indonesia, antara lain dari Bali, Sulawesi, dan Timor, yang jumlahnya sekira 200 orang.

Mereka adalah para budak yang dipekerjakan di tanah milik Cornelis Chastelein, di Nordwijk, dan Tugu.

Pemindahan mereka ke Depok bertujuan untuk mengembangkan daerah Depok sebagai lahan percobaan perkebunan lada, yang bibitnya diperoleh dari Gubernur Jenderal Johannes Camphuijs.

Tanaman lain yang juga dibudidayakan di kawasan ini adalah indigo, kakao, jeruk sitrun, nangka, sirsak, dan belimbing.

Dalam disertasinya yang berjudul Berkembang dalam Bayang-bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-1990-an, Titi Irsyam menyatakan bahwa ada dua prinsip utama yang menjadi rencana Chastelein terhadap para budaknya.

Pertama, memberikan perubahan status dari budak menjadi orang bebas yang menjadi pemeluk agama Kristen.

Kedua, memberikan bekal sebagai modal hidup mereka di kemudian hari dalam bentuk kepemilikan sebagian hartanya yang berupa tanah.

Kemudian kedua prinsip tersebut dicantumkan dalam surat wasiatnya yang dibuat pada tanggal 13 Maret 1714.

Ketika Cornelis Chastelein wafat pada 28 Juni 1714, para mantan budaknya sudah berstatus sebagai orang yang merdeka.

Sesuai dengan apa yang tertera dalam surat wasiatnya, mereka kemudian menjadi pemilik sah dari tanah Depok.

Adapun data oleh Encyclopaedie van Nederlandsch Indie antara tahun 1696 sampai tahun 1713, kurang lebih 120 orang dari sekitar 200 budak yang diajari etika agama Kristen Protestan mau menerima Sakramen Pembaptisan dan sekaligus menerima pembebasan.

Mereka ini yang kemudian dijuluki sebagai Belanda Depok, karena gaya hidupnya yang mengarah ke belanda-belandaan.

https://megapolitan.kompas.com/read/2020/01/25/11332771/kisah-rumah-tua-pondok-cina-jejak-etnis-tionghoa-di-depok

Terkini Lainnya

Bantah Pernyataan Ketua STIP Soal Tak Ada Lagi Perpeloncoan, Alumni: Masih Ada, tapi pada Enggak Berani Berkoar

Bantah Pernyataan Ketua STIP Soal Tak Ada Lagi Perpeloncoan, Alumni: Masih Ada, tapi pada Enggak Berani Berkoar

Megapolitan
Remaja Tusuk Seorang Ibu di Bogor Hingga Pisau Patah

Remaja Tusuk Seorang Ibu di Bogor Hingga Pisau Patah

Megapolitan
Jukir Liar Minimarket Ikhlas “Digusur” Asal Pemerintah Beri Pekerjaan Baru

Jukir Liar Minimarket Ikhlas “Digusur” Asal Pemerintah Beri Pekerjaan Baru

Megapolitan
Warga Bekasi Tewas Tertabrak Kereta di Kemayoran karena Terobos Palang Pelintasan

Warga Bekasi Tewas Tertabrak Kereta di Kemayoran karena Terobos Palang Pelintasan

Megapolitan
Manjakan Lansia, Asrama Haji Embarkasi Jakarta-Bekasi Tak Lagi Pakai Tempat Tidur Tingkat

Manjakan Lansia, Asrama Haji Embarkasi Jakarta-Bekasi Tak Lagi Pakai Tempat Tidur Tingkat

Megapolitan
KAI Commuter: Perjalanan Commuter Line Rangkasbitung-Tanah Abang Picu Pertumbuhan Ekonomi Lokal

KAI Commuter: Perjalanan Commuter Line Rangkasbitung-Tanah Abang Picu Pertumbuhan Ekonomi Lokal

Megapolitan
Tiga Jenazah ABK Kapal yang Terbakar di Muara Baru Telah Dijemput Keluarga

Tiga Jenazah ABK Kapal yang Terbakar di Muara Baru Telah Dijemput Keluarga

Megapolitan
Gangguan Jiwa Berat, Ibu yang Bunuh Anak Kandung di Bekasi Sempat Dirawat di RSJ

Gangguan Jiwa Berat, Ibu yang Bunuh Anak Kandung di Bekasi Sempat Dirawat di RSJ

Megapolitan
Jika Profesinya Dihilangkan, Jukir Liar Minimarket: Rawan Maling Motor dan Copet!

Jika Profesinya Dihilangkan, Jukir Liar Minimarket: Rawan Maling Motor dan Copet!

Megapolitan
Polisi: Ibu yang Bunuh Anak Kandung di Bekasi Alami Gangguan Kejiwaan Berat

Polisi: Ibu yang Bunuh Anak Kandung di Bekasi Alami Gangguan Kejiwaan Berat

Megapolitan
Imbas Tanah Longsor, Warga New Anggrek 2 GDC Depok Khawatir Harga Rumah Anjlok

Imbas Tanah Longsor, Warga New Anggrek 2 GDC Depok Khawatir Harga Rumah Anjlok

Megapolitan
Kisah Iyan, Korban Banjir Cipayung yang Terpaksa Mengungsi ke Rumah Mertua 2 Bulan Lamanya...

Kisah Iyan, Korban Banjir Cipayung yang Terpaksa Mengungsi ke Rumah Mertua 2 Bulan Lamanya...

Megapolitan
Maling Motor 'Ngadu' ke Ibunya Lewat 'Video Call' Saat Tertangkap Warga: Mak, Tolongin...

Maling Motor 'Ngadu' ke Ibunya Lewat 'Video Call' Saat Tertangkap Warga: Mak, Tolongin...

Megapolitan
Asrama Haji Embarkasi Jakarta-Bekasi Sediakan Alat Pijat dan 'Treadmill' untuk Calon Jemaah Haji

Asrama Haji Embarkasi Jakarta-Bekasi Sediakan Alat Pijat dan "Treadmill" untuk Calon Jemaah Haji

Megapolitan
Penampakan Rumah TKP Penusukan Seorang Ibu oleh Remaja Mabuk di Bogor, Sepi dan Tak Ada Garis Polisi

Penampakan Rumah TKP Penusukan Seorang Ibu oleh Remaja Mabuk di Bogor, Sepi dan Tak Ada Garis Polisi

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke