Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menyebut, hal ini juga berlaku bagi korban eksibisionisme (pamer alat kelamin).
Sebab, KUHP mengatur, pelecehan seksual terjadi jika pelaku dan korban tidak dalam kondisi sama-sama mau.
Ringkasnya, tanpa persetujuan salah satu pihak.
Sehingga, dalam logika KUHP, pelaporan akan dianggap bahwa korban terpaksa.
Tanpa laporan, merujuk pada pasal-pasal Pencabulan, korban dianggap tidak terpaksa, sehingga polisi tak akan memprosesnya.
Namun, dalam kasus eksibisionisme, polisi punya dasar hukum lain agar tetap dapat memproses pelaku tanpa harus menunggu aduan korban, yakni Undang-undang Pornografi.
"Eksibisionis juga dapat dikategorikan sebagai pornoaksi," ujar Fickar ketika dihubungi Kompas.com pada Senin (27/1/2020).
Fickar mengatakan, polisi tak perlu menunggu aduan korban untuk menangkap eksibisionis karena tindakan itu berlangsung di ruang publik.
Artinya, ada kepentingan umum yang dilangkahi oleh si eksibisionis.
"Sehingga bila memakai UU Pornografi, itu (eksibisionisme) tindak pidana biasa, karena dia lebih kepada pendekatan kepentingan umum," kata Fickar.
"Ia mengganggu ketertiban umum, itu acuannya. Bukan menekankan pada (korban) perorangan. Karena beraksi di ruang publik," ia menambahkan.
Brusly Wongkar (40), pelaku eksibisionisme (pamer alat kelamin) di hadapan lima orang bocah di Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi, misalnya diringkus polisi pada Jumat (24/1/2020) pagi tanpa berdasarkan laporan polisi.
Brusly dijerat Pasal 36 Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Ia diancam kurungan maksimal 10 tahun atau denda paling banyak Rp 5 miliar.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/01/27/16095461/beraksi-di-ruang-publik-eksibisionis-bisa-dijerat-uu-pornoaksi-tanpa