Menurut polisi, akta perkawinan palsu tersebut dipakai untuk menguasai aset BS (80), berupa sebidang tanah di kawasan Jakarta Selatan. Nilai tanah tersebut mencapai Rp 40 miliar.
Menurut Kasubdit Harda Ditreskrimum Polda Metro Jaya Kompol M Gafur Siregar, Juniar dan BS hanya memiliki hubungan sebagai terapis dan pasien.
Saat itu, korban memiliki riwayat penyakit stroke.
Mereka saling kenal sejak 2015. Kemudian, korban sempat menitipkan sertifikat tanah kepada tersangka sekitar tahun 2018.
Namun, tak diketahui alasan SB menitipkan sertifikat tanah tersebut karena SB meninggal dunia pada akhir 2018.
"Dia (tersangka Juniar) membutuhkan dan memperoleh keuntungan dari penggunaan surat atau keterangan nikah tersebut, yaitu menguasai fisik tanah yang ada di daerah Bintaro. Itu dianggap sebagai harta warisan, jadi dia memperoleh harta tersebut," kata Gafur di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Selasa (28/1/2020).
Tersangka Juniar kemudian menghubungi rekannya, Agus Butar Butar (55) dan menceritakan keinginannya memalsukan akta perkawinan dengan SB.
Selanjutnya, Agus mengenalkan Juniar kepada tersangka lainnya bernama M Husen Hosea (68), yang mengaku sebagai pendeta di gereja di Bogor, Jawa Barat.
"Si J (Juniar) ini kan bercerita mempunyai keinginan seperti ini bagaimana (kepada Agus). Agus menanggapi, 'oh ada pendeta yang bisa menikahkan'. Akhirnya datanglah dia (Juniar ke pendeta itu," ungkap Yusri.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus mengatakan, Husen lalu membuat akta perkawinan palsu seolah-olah Juniar dan SB telah menikah secara sah pada 2017.
Bahkan, foto antara Juniar dan SB disunting seolah-olah menjadi pasangan suami istri. Foto tersebut disunting di salah satu usaha percetakan foto di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta.
"Peran tersangka MHH (Husen) ini, dia yang mengatur atau menikahkan dan mengaku sebagai pendeta. Padahal sampai saat ini tidak bisa menunjukan SK pengangkatan pendeta," ungkap Yusri.
Salah satu anak korban merasa dirugikan atas pemalsuan akta perkawinan tersebut. Anak korban kemudian melaporkan kasus itu kepada polisi.
Ketiga tersangka ditangkap pada Desember 2019. Saat diperiksa, Husen tidak dapat menunjukkan bukti bahwa dirinya merupakan seorang pendeta.
Bahkan, dia tidak pernah terdaftar sebagai pendeta di salah gereja di Bogor, Jawa Barat.
Oleh karena itu, polisi menemukan bukti bahwa akta perkawinan yang diterbitkan pun palsu.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 263, 264, 266, dan 242 KUHP. Ancaman hukumannya di atas 5 tahun penjara.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/01/28/18393771/cerita-terapis-palsukan-akta-perkawinan-untuk-kuasai-tanah-pasiennya