"TIM ini untuk kesejahteraan warga, tidak mengelola komersil untuk kesenian. Kami tidak akan komersilin dan nanti harganya jadi mahal," kata Direktur Operasional Jakpro Muhammad Taufiqurrachman di Jakarta, Rabu (19/2/2020), seperti dikutip Antara.
Taufiq mengatakan, pihaknya sudah bersosialisasi dengan sejumlah seniman dan budayawan sejak tahun lalu.
Beberapa nama seniman di antaranya, seniman senior Taufik Ismail, Emby C Nur, Profesor Bambang Wibawarta dari Universitas Indonesia (UI) serta Arie Batu Bara.
"Jangan anggap Jakpro sebagai BUMD cari untuk dengan komersilin lahan-lahan yang ada di sana. Misi kita kan memberikan tempat yang baik untuk para seniman beraktivitas," kata Taufiq.
Sementara itu, terkait wacana moratorium revitalisasi yang disuarakan Komisi X DPR, Jakpro khawatir lukisan-lukisan karya para seniman di TIM menjadi terbengkalai jika revitalisasi dihentikan.
Lukisan para seniman yang bernilai hingga ratusan juta rupiah itu kini hanya ditumpuk di perpustakaan yang kondisinya tak terawat dan berdebu.
"Jika (revitalisasi) itu dimoratorium, ya sudah artinya kita akan merelakan lukisan-lukisan yang mahal karya seniman kita menjadi tidak terawat dan terbengkalai," ujar.
Ia berujar, revitalisasi TIM diperlukan demi menyediakan tempat yang memadai, nyaman, dan aman untuk kegiatan para seniman.
Meskipun demikian, Taufiq menghormati sikap Komisi X DPR RI yang meminta revitalisasi TIM dihentikan. Jakpro akan memenuhi panggilan Komisi X DPR RI untuk membahas proyek tersebut.
"Kami hormati apa pun yang kemarin disampaikan oleh DPR, tapi kami akan mengikuti juga ada pemanggilan dari DPR," kata Taufiq.
Direktur Proyek Revitalisasi TIM Lucky Ismayanti menuturkan, kegiatan para seniman akan terganggu jika revitalisasi TIM dihentikan sementara.
Sebab, para seniman membutuhkan TIM untuk mengembangkan berbagai kegiatan mereka.
"Coba kita bayangkan jika memang proyek TIM dimoratoriumkan dengan sebagian yang kami memang sudah kerjakan, apakah kegiatan berkesenian para seniman ini tidak akan terhambat ke depannya? Sedangkan untuk seniman-seniman sangat membutuhkan wilayah TIM ini untuk bisa mengembangkan kegiatan tersebut," ucap Lucky.
Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sekaligus Ketua Komite Film DKJ Hikmat Darmawan mengatakan, ketimbang mendukung moratorium revitalisasi, DKJ lebih fokus mengawal suara seniman untuk pengelolaan TIM.
Menurut dia, moratorium kemungkinan kecil terjadi karena gedung-gedung di TIM sudah dihancurkan.
"Yang jelas bagi kami kata horornya menghentikan sementara adalah sementara itu sampai kapan? Apa konsekuensinya? Ke gudang penyimpanan, kemarin kami 1 Januari terasa banget. Hujan ekstrem menyebabkan banjir, menyebabkan bocor, dan ada sebagian arsip kena banjir dan harus gunakan hair dryer," ujarnya di Teater Kecil TIM, Rabu.
Sementara itu, Plt Ketua Umum DKJ Danton Sihombing menuturkan pihaknya juga sedang berusaha menyamakan persepsi dengan Pemprov DKI agar ada win-win solution terkait hasil revitalisasi TIM.
Salah satunya agar keinginan dan kebutuhan seniman bisa terus dikawal.
"Oleh karena itu, kesempatan kemarin ketika diundang gubernur, kami lontarkan isu-isunya. Terutama yang harus diwaspadai, kita cermati dan berpikir cerdas di wilayah pengelolaan. Itu tentu akan didiskusikan bahwa voting rights seniman gimana," kata Danton.
Adapun dalam Peraturan Gubernur Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penugasan kepada PT Jakarta Propertindo Untuk Revitalisasi Pusat Kesenian Jakarta TIM.
Dalam Pergub tercantum bahwa Jakpro memiliki kuasa pengelolaan dan perawatan sarana-prasarana TIM selama 28 tahun, lewat skema Build Operate Transfer (BOT) sebelum akhirnya pengelolaan aset kembali ke tangan Pemprov DKI.
"Kalau shareholder ada juga stakeholder. Seniman adalah stakeholder, tapi terpenting voting rights ini gimana. Ketika voting itu kecil, kita akan kalah. Istilahnya, kawinnya gampang, cerainya susah. Itu yang sama-sama kita cermati, berdialog dengan sehat," tuturnya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/02/19/23284691/jakpro-kami-tidak-akan-komersialkan-tim-setelah-revitalisasi