Salin Artikel

Kaum Miskin Kota Sekarat, Mati karena Corona atau Mati Kelaparan

JAKARTA, KOMPAS.com - Mereka tak punya banyak pilihan. Di tengah wabah pandemi corona saat ini, keluar atau diam di rumah sama-sama bisa berpotensi menyebabkan kematian. Mati karena corona atau mati kelaparan.

Sri dan Eli berbincang di sebuah dipan beratapkan terpal sembari menunggu senja di pinggir lapangan Kampung Muka. Bau dari sisa-sisa sampah plastik dan kotoran ayam di sekitar mereka serasa menusuk ke dalam sukma.

Beruntung angin tak berembus kencang. Selain bau, debu-debu tentu siap membuat dada sesak. Meski begitu, Sri dan Eli tetap melemparkan senyum sambil menyantap nasi aking yang baru saja matang.

“Sekarang susah mas. Ada corona ini enggak jualan, Bingung mau makan apa. Enggak ada uang,” kata Sri, perempuan setengah baya sambil menguyah kudapannya pada Minggu (5/4/2020) lalu.

Anak perempuan Eli juga tak kalah cepat menjumput nasi aking dari tampah plastik. Ia pun unjuk gigi untuk urusan kulineran pada sore itu.

Bagi mereka, camilan nasi aking sore itu adalah sebuah kemewahan yang bahkan rela untuk dibagikan.

“Ayo mas, makan. Enak ini, apalagi kalau dikasih Masako (bumbu penyedap rasa),” kata anak perempuan Eli tertawa sembari menawarkan.

Mereka duduk bersebelahan bersama tetangga lainnya. Sri dan Eli berkumpul bersama para tetangganya. Sisa-sisa nasi aking pun disantap sebagai teman berkeluh kesah.

“Kalau mengeluh gini bakal ditangkap enggak? Takutnya saya ditangkap. Keadaan sudah susah gini, kalau ditangkap makin susah,” kata Eli.

Kampung Muka adalah sebuah kampung yang masuk ke dalam RT 004 RW 05 di Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Dari Jalan Raya Kampung Bandan, letaknya berseberangan dengan Terminal Angkutan Barang Stasiun Jakarta Gudang.

Dari sana, rumah-rumah beratap besi, berdinding kayu dan batako, pintu rumah bersebelahan, dan rumah reyot yang dihuni oleh manusia bisa dilihat dengan jelas. Karung-karung besar berisi botol bekas menumpuk di pinggir lapangan.

Pemandangan kumuh, kotor, langsung terlihat begitu kita memasuki kawasan Kampung Muka. Suasana demikian tak berbeda jauh dengan kehidupan liar di Kampung Bandan.

Masalah kebersihan dan kesehatan bentuk keniscayaan di kampung yang tak jauh gegap gempita kota. Kehidupan ala kelas proletar yang jauh dari realita kelas borjuis.

Sampah-sampah plastik bisa mudah ditemukan. Hewan peliharaan berkeliaran di lapangan. Anak-anak hidup berdampingan debu jalanan dan lapangan.

Untuk sanitasi, warga juga tak banyak berharap. Kampung Muka merupakan tempat tinggal para kelas pekerja yang terus berjuang untuk hidup lebih baik.

Di Kampung Muka, ada banyak pekerja informal yang menggantungkan hidupnya di Kota Tua. Mereka berjualan makanan, minuman, aksesoris, pemulung barang bekas, dan pedagang lainya.

Sri dan Eli adalah sosok pedagang minuman di kawasan wisata Kota Tua. Mereka sudah hampir tiga minggu tak berjualan di Kota Tua lantaran efek penutupan kawasan wisata Kota Tua.

Sejak Sabtu (14/3/2020), kawasan Kota Tua termasuk obyek wisata di sekitarnya seperti Museum Sejarah Jakarta, Museum Wayang, Museum Keramik, dan Museum Bank Mandiri sudah ditutup untuk kunjungan wisata. Wisatawan tak bisa masuk ke area pelataran Museum Sejarah Jakarta.

Setiap lorong-lorong jalan akses masuk ditutup dan dijaga petugas. Petugas akan selalu menanyakan orang yang berusaha masuk ke area Kota Tua. Spanduk berisi informasi penutupan area Kota Tua juga terpasang di beberapa titik.

Kawasan Kota Tua tak jauh dari Kampung Muka. Jaraknya sekitar satu kilometer. Biasanya, para pedagang menggelar lapaknya di pedestrian sekitar kawasan Kota Tua.

Kota Tua layak seperti kota mati. Denyut nadi ekonomi kelas miskin kota di Kota Tua tak berdetak.

Meski demikian, para pedagang pada Minggu (5/3/2020), masih ada yang bersikukuh berjualan di sekitar Stasiun Jakarta Kota. Kondisi lalu lintas lengang.

Tak banyak yang berkerumun seperti biasa kegiatan plesiran di Kota Tua.

Menurut seorang pengelola wisata Kota Tua, ini satu-satunya dalam sepanjang sejarah kondisi Taman Fatahillah kosong melompong.

“Kalau mau dagang juga siapa yang beli? Sama sekali ga ada pemasukan sekarang. Ini ngomong seperti ini gapapa kan? Nanti ditangkap lagi. Kan ga boleh ngomong sembarangan katanya,” keluh Sri sembari menengok ke kiri dan kanan.

Pedagang kopi dan rokok keliling, Sutrisno, saat ditemui di Kota Tua mengaku belum mendapatkan uang sepeser pun selama berjualan lebih kurang empat jam.

Ia baru mendapatkan uang sebesar Rp 30.000 dari hasil penjualan satu botol air mineral dan sebungkus rokok saat wawancara ini dimulai.

“Dipakai makan udah habis uang. Sepi gini selama pertama ada corona. Jualan begini yang ada modal abis. Paling dapat 50 ribu. Apalagi kalau diem di rumah, kontrakan belum dibayar,” kata Sutrisno yang berperawakan umur 65 tahunan.

Berbicara tentang corona ia bernada tinggi. Sutrisno kecewa dengan berbagai berita tentang corona yang membuat masyarakat takut keluar.

Ia langsung meninggalkan gerobaknya sambil terus merapal dan duduk di pinggir jalan sambil menyulut api ke rokoknya.

"Takut kok sama corona, takut sama Tuhan. Urusan ajal udah diatur,” ujar Sutrisno dengan nada pasrah.

Fakta demikian memang banyak ditemukan di lapangan. Keputusasaan masyarakat miskin menghilangkan logika.

Bagi mereka, urusan perut dan makan anak dan istri seperti berharga dibandingkan nyawa.

Masih lekat di ingatan kita, pada akhir Maret lalu Menteri Keuangan Jerman untuk negara bagian Hesse, Thomas Schaefer, bunuh diri karena diduga putus asa menanggung dampak ekonomi virus corona.

Tak hanya pedagang, warga Kampung Muka juga ada yang bekerja sebagai buruh bangunan. Sutrisno salah satunya. Ia merupakan kuli bangunan yang sudah tak bekerja saat kebijakan physical distancing didengungkan.

Ia pun hanya tinggal di rumah di tengah bencana non-alam saat ini. Pekerjaannya tak bisa ia lanjutkan. Proyek pengerjaan bangunan tempat ia bekerja sementara ditangguhkan.

“Sehari-hari jadi mati total pemasukannya. Kita kan gak (bisa) hidup sama sekali, Pak,” ujar Sutrisno sambil disahuti kokokan ayam.

Sutrisno tinggal tak jauh dari sisi lapangan bola Kampung Muka. Masyarakat sekitar mengenal lapangan itu dengan nama Tanah Merah.

Setiap sore warga Kampung Muka berkumpul di lapangan untuk berbagai aktivitas seperti bermain sepak bola, burung dara, layangan, bersenda gurau, mengasuh anak-anak, makan angin, atau melamun memikirkan nasib.

Anak-anak di Kampung Muka sore itu pun tampak tak peduli dengan imbauan physical distancing. Mereka asyik berlarian ke sana ke mari seperti Lionel Messi atau mungkin berlaga bak Sergio Ramos.

Untuk mencegah penularan virus corona lewat droplet (tetesan air liur) di Kampung Muka juga sudah pasti sulit. Bayangkan bisa terjadi physical distancing rumah yang sempit dan berhimpitan.

Sementara, para perempuan duduk di bagian belakang truk kontainer sambil tertawa riang. Bagi mereka, keceriaan ini mungkin adalah obat penolak bala yang manjur.

Mereka hampir bisa dipastikan tak bisa menikmati event-event online yang banyak digelar di aplikasi Zoom atau Google Hangout. Tatap muka bagi anak-anak Kampung Muka adalah keseharian yang ditemui di pintu-pintu rumah kontrakan yang berhimpitan.

Jangan bayangkan, ada rumah-rumah dengan luas ratusan meter persegi di Kampung Muka. Potret ini, ironinya berada di balik gedung-gedung pencakar langit Ibu Kota.

Anak-anak di lapangan Tanah Merah harus berbagi tempat dengan truk-truk berukuran besar. Sutrisno bilang, lapangan itu juga menjadi tempat parkir truk-truk muatan barang.

Setiap hari truk-truk itu parkir sebelum pergi ke kota-kota besar seperti Bandung, Semarang, Surabaya, dan kota lainnya.

“Kalau sore biasanya jalan. Tapi karena corona ini, truk-truknya ga pada jalan,” ungkap Sutrisno yang berumur sekitar 40 tahunan.

Boleh dibilang, lapangan ini adalah mal-nya warga Kampung Muka. Saat itu, ada banyak warung-warung jajanan semi permanen.

Stan-stan makanan berupa gerobak bakso, susu jahe, cilok, dan lainnya kebetulan hanya parkir dan tak melayani pengunjung.

Warga lainnya ada yang sedang bengong, menjual layangan dan benang gelasan yang hampir tepo, dan juga menggendong bayi. Sesekali penjual air bersih dengan celana bahan belel dan handuk di lehernya lalu lalang menjual seharga Rp 4.000 per dirigen.

Gerobak-gerobak bertuliskan “Telor Gulung”, “Mie Ayam Bakso”, dan rokok keliling berpayung warna-warni terparkir di pinggir lapangan dan di depan rumah bedeng.

Motor-motor juga terparkir berjajar dan berdampingan dengan jemuran-jemuran. Sebuah wajah kampung yang lazim di temui area perkampungan padat di Jakarta.

Mereka hidup berdampingan dengan sampah-sampah plastik yang bertebaran di lapangan, sanitasi yang buruk, dan jauh dari bayangan konsumsi gizi seimbang.

Nasi aking adalah gambaran camilan yang disantap untuk mengganjal perut saat itu. Namun, dari raut wajahnya mereka tetap terlihat bersyukur sambil menyimpan pilu di hatinya.

“Untuk bertahan sekarang, mungkin sisa kemarin itu masih ada simpanan, buat makan hari ini bisa ya. Untuk ke sananya, kalau belum ada kepastian kapan selesai masa ini (corona), bingung juga ya,” kata Sutrisno yang berkaos biru dongker bertuliskan tipografi Revolution-Resolution.

Dengan aksen sedikit Jawa, ia menceritakan kalau warga Kampung Muka banyak yang tinggal di kontrakan.

Di saat pemerintah mengimbau secara terus menerus untuk bekerja, belajar, dan ibadah di rumah, Sutrisno tak punya pilihan selain mengikutinya. Jikalau harus memberontak, uang pun tak dapat.

“Memang dagang bisa, tapi kan ga ada pengunjung (di Kota Tua), Ga ada yang beli. Keluar bisa, tapi ga ada pembeli sama sekali. Pemasukannya sama sekali tak ada,” kata laki-laki berambut gondrong itu.

Sutrisno dan warga lainnya pusing bukan kepalang jika memikirkan nasibnya dan warga lainnya. Uang kontrakan dan cicilan motor bak rima dalam bait kematian. Ya, setidaknya hingga hidupnya tenang dari teror tagihan.

Sutrisno paham hak dan kewajiban pemilik kontrakan. Sebagai pengontrak, ia mengerti harus menjalankan kewajiban untuk membayar uang sewa kontrakan.

Ia sangat bersyukur jika para pemilik kontrakan mengerti jika pengontrak telat membayar uang sewa.

“Yang ngontrak punya rumah ini mending pengertian, kalau gak pengertian kan diusir. Tuh sudah ada yang diusir (dari kontrakan),” kata Sri menimpali Sutrisno.

Hingga Minggu kemarin, Sutrisno mengaku belum ada bantuan untuk warga Kampung Muka demi menyambung perekonomian mereka yang tengah sekarat. Bantuan berupa bahan kebutuhan pokok sehari-hari dan uang pun juga belum mereka terima.

Di Kampung Muka, menurut Sutrisno ada sekitar 500 kepala keluarga yang tinggal.

“Yang dibutuhkan ini untuk makan sehari-hari seperti sembako. Yang punya anak kecil juga kan butuh kebutuhannya. Mau ga mau kan butuh,” ujarnya.

Saat ini, Sutrisno, Eli, Sri, dan warga miskin kota lainnya tentu takut dengan corona. Namun, mereka pun takut bila tak memiliki uang. Kerja bisa mati karena corona, tak kerja bisa mati kelaparan.

Kampung Muka adalah secuil potret kaum miskin kota di Jakarta, episentrum corona di Indonesia. Dari data yang dirilis 15 Januari 2020 oleh Badan Pusat Statistik Jakarta, presentase penduduk miskin di Jakarta pada September 2019 sebanyak 362.300 orang.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2017 ada 445 RW kumuh di Jakarta, dan Kampung Muka termasuk di dalamnya. Penduduk miskin, menurut BPS adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Warga Kampung Muka mungkin tak akan sempat memikirkan ketahanan pangan mereka beberapa hari ke depan seperti yang lazim dilakukan warga Jakarta lain di supermarket.

Mereka tak akan terlihat di Foodhall, Kem Chiks, Ranch Market, Farmers Market, dan supermarket akbar lainnya. Apalagi, berpikir tentang cek swab untuk corona.

Saat ini, Jakarta juga telah berada dalam status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memutus mata rantai penyebaran corona.

Meminjam rima dari Herry Sutresna alias Ucok Homicide dalam lagu Barisan Nisan (2004), kemungkinan terbesar sekarang adalah memperbesar kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan sehingga setiap orang yang kami temui tak menemukan lagi satupun sudut kemungkinan untuk kemungkinan untuk berkata tidak mungkin.

Ya, tidak mungkin untuk berkata tidak bisa membantu kaum miskin kota yang terdampak corona.

Solidaritas adalah kunci untuk membantu kaum miskin kota dan masyarakat rentan miskin yang sekarat di tengah corona.

Kita hanya bisa berharap wabah pandemi corona cepat selesai sambil mengulurkan tangan demi mencegah mereka jatuh tersungkur dan kehabisan napas.

_________

Tulisan ini telah tayang di Dunia Aksara pada Kamis (9/4/2020), dengan judul "Kaum Miskin Kota Sekarat di Tengah Corona"

https://megapolitan.kompas.com/read/2020/04/10/12245431/kaum-miskin-kota-sekarat-mati-karena-corona-atau-mati-kelaparan

Terkini Lainnya

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Megapolitan
Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program 'Bebenah Kampung'

Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program "Bebenah Kampung"

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Megapolitan
Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Megapolitan
Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Megapolitan
Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi 'Online' di Kembangan untuk Bayar Pinjol

2 Pria Rampok Taksi "Online" di Kembangan untuk Bayar Pinjol

Megapolitan
Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Megapolitan
Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Megapolitan
Prabowo-Gibran Belum Dilantik, Pedagang Pigura: Belum Berani Jual, Presidennya Masih Jokowi

Prabowo-Gibran Belum Dilantik, Pedagang Pigura: Belum Berani Jual, Presidennya Masih Jokowi

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Sendiri Pakai Senpi

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Sendiri Pakai Senpi

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi Online di Jakbar, Leher Sopir Dijerat dan Ditusuk

2 Pria Rampok Taksi Online di Jakbar, Leher Sopir Dijerat dan Ditusuk

Megapolitan
Polisi Periksa Kejiwaan Orangtua yang Buang Bayi ke KBB Tanah Abang

Polisi Periksa Kejiwaan Orangtua yang Buang Bayi ke KBB Tanah Abang

Megapolitan
Golkar Buka Peluang Lanjutkan Koalisi Indonesia Maju pada Pilkada DKI 2024

Golkar Buka Peluang Lanjutkan Koalisi Indonesia Maju pada Pilkada DKI 2024

Megapolitan
Di Tanah Tinggi Hampir Mustahil Menyuruh Anak Tidur Pukul 10 Malam untuk Cegah Tawuran

Di Tanah Tinggi Hampir Mustahil Menyuruh Anak Tidur Pukul 10 Malam untuk Cegah Tawuran

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke