JAKARTA,KOMPAS.com - Sutaryono masih tersenyum di atas mesin jahitnya. Duduknya pun begitu santai sambil menyilangkan kaki.
Di pinggir Jalan Slamet Riyadi, Matraman, Jakarta Timur, pria yang Agustus nanti genap berusia 70 tahun masih setia dengan mesin jahit andalannya. Menunggu baju mana lagi yang akan dijahitnya.
Senyumnya begitu ikhlas, terlalu sempurna untuk menutupi kekecewaan sesungguhnya. Ya, pria ini sedang dilanda duka lantaran gagal berangkat haji pada 2022 nanti.
"Iya, diundur jadi tahun 2024 gara-gara Covid," ceplosnya saat ditemui Kompas.com, Jumat (23/7/2020).
Ini sudah kesekian kali keberangkatannya ditunda. Sutaryono awalnya sudah dijadwal berangkat pada 2019. Namun, belakangan mundur jadi tahun 2022. Teranyar, jatahnya menyentuh Tanah Suci diundur lagi hingga 2024.
Namun Sutaryono mau bilang apa? Dia hanya pasrah menunggu datangnya 2024.
"Dari sananya cuma bilang 2024 siap-siap. Mungkin bisa diundur lagi, gitu," kata dia.
Padahal, Sutaryono sudah bermimpi ke Tanah Suci sejak 1990 lalu. Semenjak itu, dia berjuang mencari uang demi biaya ibadah haji.
Mesin jahit beralas kayu seakan jadi saksi bisu perjuangan Sutaryono. Mungkin sudah jutaan meter kain naik ke mesin itu.
Ketika ditanya suka duka selama mengumpulkan uang, Sutriyono pun menghela napas sebelum lanjut bercerita.
Dari mulai dipalak preman hingga pelanggan yang tak mau membayar jasanya, sudah "kenyang" Sutaryono alami.
"Wah banyak, dulu kalau ada preman minta duit buat beli minuman kalau enggak dikasih, saya mau ditonjok," kata Sutaryono.
"Sama kadang-kadang ada orang minta dijahit. Pas sudah jadi dia mau ambil baju eh bilang katanya dompetnya ketinggalan yasudahlah. Bajunya pun diambil orangnya enggak datang-datang lagi," lanjut dia.
Namun, itu hanya cerita dahulu, zaman ketika masih merintis dan berjuang demi menggemukkan tabungan.
Rupiah demi rupiah dikumpulkannya, lalu dibelikan emas beberapa gram. Sutaryono mengaku tidak mengumpulkan uang secara utuh, melainkan dibelikan emas sebagai investasi sekaligus simpanan.
Kapan harga emas sedang naik, di situlah dia menjualnya demi mendulang untung.
"Pertama beli emas dua gram, nanti beli lagi dua gram. Sudah 10 gram saya jual dan beli yang 20 gram, begitu terus. Itu pun kalau lagi punya uang," kata dia.
Pola itu pun dia lakukan terus menerus sejak tahun 1990. Alhasil, dia dapat membayar lunas ongkos naik haji sebesar Rp 25 juta.
Sutaryono sebenarnya tak menyangka bahwa mesin jahit tua miliknya bisa mengantarkan dirinya satu langkah lagi menuju Tanah Suci. Tak terhitung berapa benang yang dia rajut demi mencapai impian itu.
Sambil menghabiskan sigaret krektek terakhirnya, Sutaryono pun berkhayal ke masa di mana pandemi Covid-19 berakhir dan dia dapat melaksanakan ibadah haji sebagaimana mestinya.
"Kalau saya sudah naik haji, saya sudah selesai jadi tukang jahit di sini," kata dia sambil senyum tipis.
Rencana itu seakan sudah matang, tempat dia bertarung dengan keringat dan waktu selama bertahun-tahun akan ditinggalkannya. Pinggir jalan ini hanya akan jadi saksi, bahwa pernah ada seorang penjahit jalan berani bermimpi untuk sentuh Kabah di Tanah Suci.
Namun, mesin jahit kesayangan tak akan ditinggalkan. Aktivitas jahit menjahit pun akan terus dilakukan.
"Saya mau berhenti di jalanan, kalau usahanya mah enggak berhenti. Menjait di rumah saja," tutup dia.
Kini Sutaryono memanjatkan doa untuk 2024. Semoga tahun itu bisa jadi miliknya, di mana dia bisa melengkapi rukun Islam yang kelima.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/07/24/16395661/mimpi-penjahit-sutaryono-ke-tanah-suci-pupus-karena-pandemi-covid-19