JAKARTA, KOMPAS.com - Keberadaan bisnis klinik aborsi tak berstandar medis telah lama beroperasi secara tersembunyi di DKI Jakarta.
Bisnis layanan 'bawah tanah' ini kerap timbul tenggelam meski polisi telah berulang kali melakukan penggerebekan.
Polisi pernah mengungkap keberadaan klinik aborsi ilegal di kawasan Paseban, Jakarta Pusat, pada 11 Februari 2020 lalu.
Tiga tersangka ditangkap dalam pengungkapan itu, yakni MM alias dokter A, RM, dan SI.
Setelah enam bulan berselang atau Agustus 2020, polisi kembali membongkar praktik aborsi pada klinik yang berlokasi di Raden Saleh, Jakarta Pusat.
Setidaknya, ada 17 tersangka yang ditangkap. Tiga di antaranya dokter, dua perawat dan satu bidan.
Mereka berinisial dr.SS (57), dr.SWS (84), dr.TWP (59), EM (68), AK (27), SMK (32), W (44), J (52), M (42), S (57), WL (46), AR (44), MK (44), WS (49), CCS (22), HR (23), dan LH (46).
Beberapa tahun sebelumnya, polisi juga sudah sering mengungkap keberadaan klinik aborsi di kawasan Cikini ini.
Berawal kasus pembunuhan
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus mengatakan, pengungkapan klinik aborsi yang terbaru ini merupakan pengembangkan kasus pembunuhan pengusaha roti asal Taiwan Hsu Ming-Hu (52) oleh sekretarisnya SS (37).
Aksi pembunuhan itu terjadi di rumah korban di Cluster Carribean, Kota Deltamas Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, 24 Juli lalu.
Pembunuhan dilatarbelakangi asmara. SS yang hamil kemudian mengaborsi anak yang dikandung dengan meminta biaya kepada korban.
"Saat itu SS kehamilan digugurkan dengan minta uang oleh si korban sendiri pada saat itu. Dari situ kita kembangkan," ujar Yusri dalam rilis yang disiarkan secara daring, Selasa (18/8/2020).
Saat itu, polisi melakukan penggerebekan aborsi di kawasan Raden Saleh. Polisi pun mengamankan 17 pelaku yang membantu praktik aborsi itu.
"Tanggal 3 Agustus berhasil mengamankan 17 pelaku di salah satu klinik yang ada di kawasan Raden Saleh, Jakarta Pusat," ucapnya.
Muncul setelah digerebek
Yusri mengakui kalau keberadaan praktik klinik aborsi ilegal dapat ditemukan di sana.
Praktik aborsi ilegal itu selalu kembali muncul meski telah digerebek polisi.
"Inilah akal-akalan yang dilakukan pelaku, biasanya setelah penggerebekan dia akan tiarap dulu. Nanti lihat situasi kalau mulai tenang, nanti baru mulai muncul lagi. Ini yang terjadi," kata Yusri.
Bahkan, kata Yusri, tidak sedikit masyarakat di sekitar lokasi itu banyak yang mengetahui praktik klinik aborsi.
"Ini memang daerah situ hampir rata-rata masyarakat sudah banyak yang tahu," katanya.
Setiap keberadaan praktik aborsi menggunakan kamuflase agar tak tampak seperti sebuah klinik. Salah satunya tidak menggunakan plang yang hanya menyerupai seperti rumah biasa.
"Saat Februari 2020 bukan klinik. Tapi memang dokter A yang sudah diskors saat itu oleh IDI, tapi dia lakukan praktek dan tidak menggunakan plang praktek dan izin praktik," ungkapnya.
Beroperasi selama 5 tahun
Sementara Direskrimum Polda Metro Jaya Kombes Tubagus Ade Hidayat menjekaskan, Praktik klinik aborsi yang baru saja terbongkar diketahui sudah beroperasi selama lima tahun.
Namun, polisi hanya menemukan catatan jumlah pasien dalam satu tahun terakhir.
"Dalam data satu tahun terakhir, mulai Januari 2019 sampai 10 April 2020 terdata ada 2.638 pasien aborsi," ujar Tubagus.
Berdasarkan data pasien tersebut, polisi memperkirakan ada 5 sampai 7 orang yang melakukan aborsi di tempat itu per hari.
"Ini dengan asumsi perkiraan ada 5 sampai 7 pasien yang melakukan aborsi. Ini dari alat bukti catatan yang ada di sana. Belum lagi kita runut ke belakang kalau asumsinya selama 5 tahun," ucapnya.
Raup Rp 70 juta
Selama beroperasi, para pelaku dapat meraup untung Rp 70 juta per bulan.
Keuntungan tersebut terus didapat selama para pelaku menjalani bisnis ilegal itu sekitar lima tahun.
"Setidaknya dalam satu bulan kurang lebih Rp 70 juta. Itu untuk pendapatan satu bulan bersih, artinya sudah pengeluaran lain," ujar Tubagus.
Tubagus menjelaskan, biaya aborsi ditetapkan sesuai tingkat usia kandungan pasien. Mekanisme penetapan harga setelah pasien menjalani pemeriksaan awal hingga tahap ultrasonografi (USG).
"Empat kriteria 6-7 minggu, 8-10 minggu, 10-12 minggu, dan 15-20 minggu. Biayanya tergantung tingkat kesulitan setelah dilakukan pemeriksaan awal, baik pemeriksaan medis maupun pemeriksaan dalam bentuk USG," ucapnya.
Adapun pembagian hasil aborsi, sebesar 40 persen untuk tenaga medis, 40 persen untuk calo, dan 20 persen untuk pengelola.
"Untuk pembagiannya sudah ditetapkan. Karena harganya melakukan eksekusi disesuaikan usia (kandungan). Ini masih kami lakukan lidik lanjut," ucapnya.
Dibuang ke kloset
Tubagus menjelaksan, polisi telah menjalani olah tempat kejadian perkara di lokasi.
Namun, dalam proses tersebut polisi tak menemukan makam janin di lokasi.
Berdasarkan pemeriksaan pelaku, ternyata janin hasil aborsi dibuang ke kloset setelah sebelumnya dilarutkan bersama bahan-bahan yang telah disiapkan.
"Janin dimusnahkan dengan diberikan larutan. Setelah larut, kemudian dilakukan pembuangan melalui kloset. Itu adalah proses, sehingga sampai saat ini kita belum menemukan adanya makam," ujar Tubagus.
Tubagus menjelaskan, para pelaku melakukan cara itu karena janin yang digugurkan masih berusia muda.
"Karena usianya masih dalam hitungan minggu, yang masih berbentuk dengan gumpalan darah. Tapi juga ada yang sudah berbentuk janin bayi," ujarnya.
Adapun biaya aborsi ditetapkan sesuai tingkat usia kandungan yang terbagi dalam empat kelompok, yakni 6-7 minggu, 8-10 minggu, 10-12 minggu dan 15-20 minggu.
Untuk usia kandungan 6-7 minggu dikenakan tarif Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta, 8-10 minggu Rp 3 juta hingga Rp 3,5 juta, serta 10-12 minggu Rp 4 juta hingga Rp 5 juta.
"Usia 15-20 minggu dengan biaya Rp 7 juta sampai dengan Rp 9 juta," katanya.
Buka layanan kandungan
Tubagus menjelaskan, klinik aborsi ilegal itu tidak hanya melayani pasien aborsi saja, melainkan membuka layanan berkaitan dengan kandungan.
"Klinik ini bukan hanya klinik aborsi, tapi juga yang sifatnya bantuan pelaksanaan kandungan, seperti pemasangan KB, konsultasi kehamilan, dan sebagainya," kata Tubagus.
Tenaga medis yang bekerja di klinik tersebut terdiri dari dokter, bidan, dan perawat. Mereka menyalahgunakan profesi dengan melakukan aborsi ilegal.
"Dokter tersebut spesialisasi kandungan. Tapi di samping melakukan pengobatan dan kontrol kandungan, juga malakukan praktik aborsi," katanya.
Hingga saat ini, polisi masih memburu dokter lain yang sebelum terbongkar sudah menjalani praktik aborsi di klinik tersebut.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/08/19/08435691/bisnis-klinik-aborsi-ilegal-di-raden-saleh-cikini-tak-mati-meski