Mereka lebih memilih hidup di jalanan Ibu Kota karena memiliki pengalaman kelam saat berada di panti sosial milik pemerintah.
Ini misalnya dialami oleh Ocit (45) dan Boim (40).
Kedua gelandangan yang kerap beristirahat di pinggir Jalan Bhakti, Cideng, Gambir, Jakarta Pusat, ini pernah tinggal di panti sosial meski dalam hitungan hari.
Boim bahkan sudah tiga kali masuk-keluar panti sosial.
Pria asal Aceh ini trauma kembali ke panti sosial karena dia sempat "dibuang" di kawasan Comal, Pemalang, Jawa Tengah, seusai menjalani masa rehabilitasi.
Saat itu, dia hanya dibekali uang Rp 50.000 untuk bertahan hidup.
"Saya kena razia karena tidur di emperan toko waktu itu. Eh, tahunya 'dibuang' sampai ke Comal. Pokoknya disuruh jauh-jauh dari Jakarta. Tapi, akhirnya bisa balik lagi kemari naik kereta barang," kata dia saat ditemui Senin (1/2/2021), dikutip dari Kompas.id.
Sebelum "dibuang" ke Pemalang, Boim tinggal di salah satu panti sosial di Jakarta selama 10 hari. Ia merasa rutinitas di panti itu cukup menjemukan.
Salah satu yang paling dia ingat adalah melakukan olahraga senam setiap pagi. Selebihnya hanya makan dan melamun.
"Enggak boleh merokok, jadi bosan. Makan di sana juga tak enak," katanya.
Boim juga tidak nyaman ketika diminta menjaga kebersihan diri di panti sosial. Para petugas juga tidak akan segan-segan memandikannya jika dia menolak mandi.
Hal yang sama dialami Ocit. Dia pernah masuk ke salah satu panti sosial di kawasan Jakarta Barat selama tiga hari.
Di panti itu, Ocit ditempatkan di sebuah barak bersama sekitar 25 penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) lainnya.
Selama di panti, Ocit tidak pernah mendapatkan pelatihan atau kegiatan rehabilitasi sosial.
Heni (38), perempuan asal Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sudah 10 tahun hidup di jalanan Ibu Kota, terutama di sekitar Kwitang, Jakarta Pusat.
Ia kini menghuni Balai Rehabilitasi Sosial Eks Gelandangan dan Pengemis Pangudi Luhur di Bekasi, Jawa Barat. Di balai ini, ia mendapatkan sejumlah pelatihan keterampilan.
"Kalau ada modal usaha, saya mau ubah nasib. Pengin jualan makanan," ujarnya.
Sebelum sampai ke balai itu, ia mengaku punya pengalaman buruk masuk panti di Jakarta pada 2014.
”Di situ terkurung seperti penjara. Tidak bisa ke mana-mana. Anak saya sakit di dalam, tetapi sulit dapat perawatan. Saya marah, tendang pintu dari tripleks sampai jebol,” kenangnya.
Menteri Sosial Tri Rismaharini, Minggu (31/1/2021), berjanji akan mengubah pola penanganan gelandangan dan PMKS.
Untuk penanganan gelandangan dan PMKS, Kemensos menganggarkan sekitar Rp 1,2 triliun.
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat mengatakan, pihaknya mendorong perubahan perilaku dan pola pikir gelandangan yang ditangani di balai.
Selain itu, pemerintah juga melakukan rehabilitasi sosial yang terintegrasi dengan pemberdayaan sosial, ditambah sistem jaminan dan perlindungan sosial.
Kepala Seksi Layanan Rehabilitasi Sosial Pangudi Luhur Ahmad Sahidin menyebutkan, pelatihan kewirausahaan di salah satu balai yang dikelola Kemensos ini diadakan dalam jangka waktu yang bervariasi sesuai kemampuan gelandangan dan pengemis untuk mandiri.
"Ada yang sepekan, sebulan, atau tiga bulan. Kami asesmen apakah sudah bisa kembali ke keluarga atau masyarakat. Kalau ke masyarakat bisa salurkan untuk magang atau kerja di tempat usaha seperti bengkel motor, proyek, dan sebagainya," kata Ahmad.
(Sumber: Kompas.id/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY/AGNES SWETTA PANDIA/FAJAR RAMADHAN)
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/02/02/12155931/cerita-gelandangan-kapok-masuk-panti-sosial-dibuang-disuruh-jauh-dari