Pada 2 Maret 2020, dua warga Depok, Jawa Barat, terkonfirmasi terinfeksi virus SARS-CoV-2 itu.
Dua pasien pertama tersebut teridentifikasi sebagai seorang anak (Sita Tyasutami) dan ibunya (Maria Darmaningsih).
Keduanya diduga tertular Covid-19 setelah berkontak langsung dengan warga negara (WN) Jepang yang sedang menyambangi Indonesia.
Dari cerita awal itu, kasus Covid-19 di Indonesia kian bertambah dan belum ada tanda-tanda menurun.
Harga masker meroket
Sejak kasus pertama Covid-19 di Indonesia diumumkan, masyarakat berbondong-bondong membeli masker.
Sebab, salah satu antisipasi yang mudah dilakukan masyarakat adalah menggunakan masker.
Masyarakat bahkan sudah ramai-ramai membeli masker sejak sebelum kasus perdana Covid-19 di Indonesia diumumkan, mengingat virus itu pertama kali ditemukan di Wuhan, China, pada Desember 2019, kemudian mewabah di banyak negara.
Harga masker kemudian meroket, seperti halnya di Pasar Pramuka, Matraman, Jakarta Timur. Harga sempat melonjak dua kali lipat.
"Biasanya standarnya sih Rp 225.000 per boks, nah terakhir kemarin itu harganya sudah Rp 500.000 per boks isinya 20," kata salah pedagang, Aya, pada 29 Januari 2020.
Selain masker jenis N95, masker bedah juga sudah mulai langka.
Hal itu karena pembeli yang kehabisan masker jenis N95 beralih membeli masker bedah tersebut.
"Masker biasa juga sudah stok terakhir, kemarin orang karena masker N95 habis, jadinya beli masker biasa. Kemarin orang beli kartonan, sekarang mah paling per boks saja sisaan," ujar Aya saat itu.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menduga ada penimbunan masker sehingga harga meroket.
"Penimbunan tersebut akan mengacaukan distribusi masker di pasaran dan dampaknya harga masker jadi melambung tinggi," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam keterangannya, 14 Februari 2020.
YLKI juga menerima banyak aduan konsumen terkait melambunganya harga masker di pasaran.
Langkanya masker membuat banyak warga mulai berinovasi. Peneliti ITB mengampanyekan pemakaian masker kain sebagai pencegahan.
Inisiator kampanye dari tim peneliti Design Ethnography Lab ITB Prananda L Malasan menjelaskan, mereka membuat kampanye #bikinmaskersendiri untuk mengajak orang-orang dalam kondisi sehat membuat masker sendiri.
"Ini merupakan respons kami untuk membantu mengurangi pembelian berlebih pada masker bedah, sehingga tenaga kesehatan dan pasien mendapatkan masker tersebut," ujar Prananda.
Harga hand sanitizer ikut meroket
Selain masker, harga hand sanitizer di online shop atau toko online juga tak wajar.
Dipantau Kompas pada 4 Maret 2020, harga sejumlah merek hand sanitizer melambung tinggi di beberapa platform e-commerce.
Hand sanitizer yang biasanya dijual belasan ribu rupiah, naik menjadi Rp 49.000 sampai Rp 70.000.
Melihat persoalan ini, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membagikan informasi mengenai langkah-langkah pembuatan hand sanitizer di rumah.
Deputi Ilmu Pengetahuan LIPI Agus Haryono mengatakan, masyarakat bisa membuat hand sanitizer dengan bahan-bahan yang tersedia di toko-toko kimia.
"Masyarakat tidak perlu panik dan khawatir karena bisa membuatnya sendiri," kata Agus pada 12 Maret 2020.
Berita Kompas.com pada 28 April 2020, harga masker maupun hand sanitizer kembali normal.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengungkapkan, normalnya harga masker dan hand sanitizer merupakan bentuk wujud demand (permintaan) dan supply (pasokan) yang sudah seimbang.
"Kalau harga fundamentalnya cuma lokal, kalau demand dan supply relatif sudah seimbang, maka harga akan kembali normal," ujar Enny.
Enny mengungkapkan, awal-awal harga masker melonjak karena Pemerintah Indonesia mengekspor masker ke China di mana saat itu jumlah kasus terinfeksi virus SARS-CoV-2 meningkat tajam.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/03/02/12355441/setahun-pandemi-covid-19-kala-harga-masker-medis-dan-hand-sanitizer