Salin Artikel

Memosisikan Diri sebagai "Manusia Tanpa Mesin" di Kota "Car-Oriented"

Isi twitnya seperti ini:

"Jakarta: surga bagi foto drone dan mobil, neraka bagi manusia. Ketika kota kita dibentuk hanya untuk terlihat ‘cakep’ dari shot drone, beginilah hasilnya. Coba kita ambil sudut pandang manusia dari foto ini, mau nyebrang jalan saja butuh perjuangan mematikan," demikian kicauan yang ditulis melalui akun Twitter-nya, @adriansyahyasin.

Dalam kicauan tersebut, Yasin mengunggah empat foto yang masing-masing menampilkan Simpang Susun Semanggi, Simpang Susun Tol Desari, Flyover Pancoran-Tendean, dan Flyover Kemayoran.

Kicauan Yasin tersebut memunculkan kebingungan bagi sebagian orang.

Ada yang mempertanyakan alasan harus menyeberang di ruas Tol JORR dan Tol Dalam Kota yang jelas-jelas dilarang dan sangat berbahaya.

Orang yang mungkin sangat jarang berjalan kaki dan beraktivitas dengan transportasi umum mungkin akan gagal paham dengan kicauan Yasin.

Namun, tidak demikian dengan mereka yang rutin harus berjalan kaki dan menggunakan transportasi umum.

Kicauan Yasin sebenarnya bukan mengajak orang untuk menyeberang di tol.

Tetapi, Yasin mencoba menggambarkan situasi yang sering dihadapi orang-orang yang bukan pengguna kendaraan bermotor.

Pada Agustus 2017, The New York Times pernah menulis sebuah artikel berjudul "Jakarta, the City Where Nobody Wants to Walk", sebuah gambaran betapa buruknya nasib pejalan kaki di Ibu Kota.

Dari trotoar rusak, trotoar yang terlalu banyak tiang listrik, trotoar yang diokupasi oleh pedagang kaki lima (PKL), tukang ojek, dan parkir liar, hingga trotoar yang dibajak pengguna sepeda motor adalah sederet penyebab yang mungkin membuat kita malas untuk berjalan kaki di Jakarta.

Namun, pernahkah kita sadar jika ada faktor lain yang lebih penting, yakni kebijakan otoritas terkait dan diperparah dengan rancang kota yang salah.

"Bertahun-tahun paradigma mobilitas kita dicekoki dengan konsep car-oriented development membuat infrastruktur perkotaan didominasi untuk penggunaan motor dan mobil," tulis Yasin dalam sebuah kicauan lainnya.

Sebagai seseorang yang pernah hidup di Belanda, Yasin tentunya bisa membandingkan posisi sebagai pejalan kaki di Jakarta dengan kota-kota di negara maju.

Di kota-kota di banyak negara maju, misalnya di Eropa ataupun di Jepang, mobilitas pejalan kaki dibuat senyaman mungkin.

Untuk sekadar menyeberang mereka tak perlu harus bersusah payah naik turun tangga jembatan penyeberangan orang (JPO), tapi pengguna kendaraan bermotor yang harus menghentikan sejenak laju kendaraannya untuk memberikan kesempatan pejalan kaki melintas.

Lokasi kantornya ada di Menara 165 yang letaknya relatif tidak jauh dari Citos, nama keren Cilandak Town Square.

Baik Citos maupun Menara 165 sama-sama berlokasi di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan.

Jarak kedua tempat tersebut kurang lebih hanya sekitar 1 kilometer. Relatif dekat sebenarnya bagi Coki jika ingin berjalan kaki.

Namun, keinginannya untuk berjalan kaki ke Citos tak bisa dilakukan karena tak ada akses pejalan kaki yang nyaman sebagai penghubung kedua lokasi tersebut.

Alhasil, Coki harus memanggil ojek daring untuk perjalanan yang jaraknya sebenarnya sangatlah dekat itu.

Coki pernah mencoba untuk berjalan kaki dari Menara 165 ke Citos. Tapi ia harus melakukannnya dengan perjuangan yang sangat melelahkan dan sangat tidak efisien dibanding naik kendaraan bermotor.

"Harus muter jauh sekali. Belok kanan dulu (ke Jalan Antasari) terus naik jembatan penyeberangan terus lewat jalan kampung, muter lagi," kata Coki pada suatu ketika kepada Kompas.com.

Penasaran dengan cerita Coki, Kompas.com mencoba untuk melakukan hal yang sama.

Ternyata benar, kendati jaraknya dekat, berjalan kaki dari Menara 165 ke Citos benar-benar sangat melelahkan.

Pertama-tama, kita harus melalui trotoar yang kondisinya tak terlalu baik dan relatif sempit dari depan Menara 165 hingga ke depan Gedung Ratu Prabu 2.

Setelah melewati Gedung Ratu Prabu 2, kita akan mendapati trotoar dengan lebar hanya sekitar satu meter di pinggir lahan kosong yang masih berupa rawa-rawa.

Trotoar di pinggir lahan kosong yang harus dilintasi cukup panjang. Mungkin ada sekitar 1 kilometer, tepatnya di sepanjang pinggir tikungan ruas lalu lintas kendaraan dari Antasari yang hendak mengarah ke Ranco.

Karena di pinggir lahan kosong, ada rasa waswas saat melintasi trotoar. Suasananya tentu berbeda dengan trotoar di depan gedung aktif yang biasa rutin dijaga petugas keamanan.

Di trotoar pinggir lahan kosong, kita tentu tak bisa berbuat banyak jika ada pelaku kejahatan bermotor yang tiba-tiba datang merampok.

Kembali ke soal perjalanan berjalan kaki dari Menara 165 ke Citos, setelah berjalan sekitar 1 kilometer barulah kita akan menemukan sebuah JPO di depan SDN Cilandak Barat 15 Pagi.

JPO terpantau memiliki 35 anak tangga di kedua sisi dan panjangnya mencapai sekitar 20 meter.

Dari JPO, perjalanan dilanjutkan dengan melintasi trotoar hingga depan Alamanda Tower.

Setelah melewati Alamanda Tower barulah kita menemukan kembali trotoar di depan gedung-gedung aktif hingga akhirnya sampai di Citos.

Dari percobaan yang dilakukan Kompas.com, berjalan kaki dari Menara 165 ke Citos memakan waktu hampir 30 menit untuk jarak hampir dua kilometer.

Di sisi lain, jika menggunakan sepeda motor melewati perempatan Fatmawati, waktu yang dihabiskan hanya sekitar lima menit jika tidak macet.

Tak hanya dari Menara 165, tak efisiensinya berjalan kaki juga terjadi jika kita ingin menyeberang ke deretan gedung-gedung yang ada di seberang Citos, misalnya ke toko buah dan sayur All Fresh.

Baik Citos dan All Fresh adalah dua gedung yang saling berhadapan. Namun, terpisah oleh ruas Tol JORR.

Dari percobaan yang dilakukan Kompas.com, sekadar berjalan kaki dari Citos ke All Fresh bahkan bisa menghabiskan waktu 15-20 menit karena harus memutar melewati JPO depan Midtown Residence

JPO memiliki panjang hampir 50 meter dan memiliki 53 anak tangga di kedua sisi.

Sementara itu, jika naik sepeda motor hanya perlu tiga menit via putaran balik depan sekolah High Scope.

Kisah pejalan kaki di Jalan Gatot Subroto

Jalan TB Simatupang mungkin hanya satu dari sekian banyak ruas jalan di Jakarta yang sangat tidak ramah untuk pejalan kaki.

Kasus seperti di Jalan TB Simatupang mungkin juga banyak ditemukan di Jalan Gatot Subroto, salah satunya seperti yang pernah dialami Sinta.

Pada suatu ketika, Sinta pernah harus memesan taksi hanya gara-gara tak bisa menemukan tempat menyeberang yang nyaman dan cepat setelah turun dari bus transjakarta di ruas Jalan Gatot Subroto arah Semanggi, tepatnya di halte depan Museum Satriamandala.

Saat itu, ia ada urusan ke salah satu kantor yang berlokasi di Centennial Tower.

Museum Satriamandala dan Centennial Tower adalah dua lokasi di Jalan Gatot Subroto yang saling berhadapan tapi terpisah oleh Tol Dalam Kota.

Keberadaan Tol Dalam Kota tentunya tak memungkinkan penyeberangan langsung dalam bentuk pelican crossing ataupun zebra cross.

Selain tak memungkinkan adanya penyeberangan langsung, Halte Museum Satriamandala juga relatif jauh dari JPO terdekat.

"Karena bingung harus nyeberang di mana dan jalan ke arah mana, akhirnya saya pilih naik taksi," kata Sinta kepada Kompas.com.

Pantuan Kompas.com di lokasi, jika ingin menyeberang, pejalan kaki harus mengakses JPO tak jauh dari depan Kantor LIPI.

Jarak dari Halte Satriamandala ke bawah JPO LIPI mencapai sekitar 100 meter.

Dari percobaan yang Kompas.com lakukan, berjalan kaki menyeberang dari Halte Musuem Satriamandala ke Centennial Tower memakan waktu hampir 15 menit.

Kompas.com sempat mencoba membandingkannya dengan menggunakan mobil via Simpang Susun Semanggi. Waktu tempuhnya hanya sekitar lima menit jika tidak dalam kondisi macet.

Rata-rata JPO di Jalan Gatot Subroto terpantau memiliki 55 anak tangga. Panjangnya mencapai sekitar 50 meter.

Tak terbayang jika kalangan rentan seperti lansia, disabilitas, perempuan hamil ataupun orang yang membawa anak harus melintasi JPO tersebut.

Efek buruk ruas tol perkotaan bagi tata kota

Baik Jalan TB Simatupang maupun Jalan Gatot Subroto adalah dua ruas jalan yang sama-sama dibelah oleh ruas jalan tol perkotaan.

Keberadaan tol perkotaan membuat kedua kawasan tersebut tak memungkinkan untuk dibuatkan akses penyeberangan yang lebih ramah pejalan kaki, seperti pelican crossing ataupun zebra cross.

Dikutip dari artikel berjudul "Jalan Layang Tol vs Transportasi Massal" yang dimuat di laman Institut for Transportation and Development Policy (ITDP) pada 15 November 2012, keberadaan ruas tol perkotaan dinilai hanya merusak esensi kota.

Artikel tersebut dibuat ITDP sebagai protes terhadap rencana pembangunan enam ruas tol dalam kota.

Menurut ITDP, merevitalisasi kota dengan jalan tol bukanlah solusi dan sebaliknya dampak-dampak yang dihasilkan umumnya merusak, baik dari segi teknis dan sosial.

Berdasarkan studi ITDP, pembangunan jalan tol di dalam area kota di negara-negara maju dianggap sebagai ide usang.

Pasalnya, jalan tol didesain untuk kendaraan yang lebih besar dan tidak dapat memindahkan orang seefektif jalan-jalan non-tol untuk melayani jarak-jarak pendek.

ITDP mencontohkan beberapa kota dunia yang justru menghancurkan ruas tol dalam kotanya demi lingkungan perkotaan yang lebih baik.

Di Seoul, sebut ITDP, Pemerintah Kota memutuskan untuk meruntuhkan jalan tol dan merehabilitasi jalan di wilayah Cheonggyecheon.

Kawasan yang semula merupakan area kumuh di bawah jalan tol bisa diubah menjadi sebuah taman kota dengan ruang publik yang besar dan trotoar yang ramah bagi pejalan kaki.

Sementara itu, di Milwaukee, AS, keputusan untuk menghancurkan jalan tol dibuat karena biaya yang dibutuhkan untuk meruntuhkan jalan tol lebih sedikit dibandingkan untuk mempertahankan tol dengan biaya operasionalnya yang tinggi.

"Jalan tol yang dibangun di dalam kota akan merusak esensi kota sebagai pusat budaya dan perdagangan. Pembangunan tol akan mengurangi kapasitas kota untuk menghubungkan orang-orang dan memberikan dukungan yang lebih sedikit kepada interaksi manusia dan aktivitasnya," sebut ITDP.

"Mindset" pejalan kaki harus menyeberang di JPO

Selain adanya ruas tol perkotaan, infrastruktur lain yang sebenarnya tidak baik untuk kenyamanan pejalan kaki di Jakarta adalah JPO. Setidaknya demikian penilaian ITDP.

Bagi pejalan kaki dari kalangan umum, naik turun JPO mungkin bukan suatu masalah.

Tapi, coba tempatkan diri kita dalam posisi sebagai lansia, kaum disabilitas, wanita hamil, ataupun orang yang membawa anak.

Cerita dari Rianti di bawah ini mungkin bisa jadi gambaran.

Pada awal 2019, Rianti sedang hamil besar. Usia kehamilannya sudah mencapai sekitar tujuh bulan, suatu kondisi yang membuat Rianti tak memungkinkan lagi untuk berkendara sendiri.

Selama hamil, Rianti rutin diantar oleh sang suami dengan mobil ke tempat kerjanya yang berlokasi di Jalan TB Simatupang.

Namun, pada suatu ketika sang suami harus dinas ke luar kota.

Jika sang suami tak bisa mengantar Rianti, maka pilihan satu-satunya bagi dia untuk pergi ke kerja adalah memesan taksi daring langsung dari rumahnya di Depok.

Tapi, ongkos yang dikeluarkan relatif lebih besar dibanding jika ia naik kereta rel listrik (KRL) commuter line.

Namun, Rianti kerap menghindar jika harus naik moda yang kedua ini.

Pasalnya, stasiun terdekat dari kantornya justru tak ramah ibu hamil. Stasiun yang dimaksud adalah Stasiun Tanjung Barat.

Semenjak hamil, Rianti merasa tak sanggup lagi untuk naik turun JPO di Stasiun Tanjung Barat.

Jika harus naik KRL ke kantor, Rianti terpaksa harus turun di Stasiun Pasar Minggu yang lokasinya relatif lebih jauh dari tempat kerja Rianti.

Waktu tempuh yang bisa dihabiskan di jalan bahkan bisa lebih lama ketimbang membawa mobil sendiri.

JPO untuk akses keluar masuk stasiun di Tanjung Barat dibangun sekitar akhir 2014.

Sejak ada JPO itu, akses lama di pintu utama stasiun ditutup permanen. Tak ada lagi penyeberangan sebidang berbentuk zebra cross.

Kondisi ini mengharuskan seluruh calon penumpang tanpa terkecuali harus naik turun di JPO tersebut.

Jika menengok ke belakang, JPO Stasiun Tanjung Barat dibangun atas usulan otoritas terkait yang menganggap para pejalan kaki yang menyeberang di depan stasiun sebagai penyebab kemacetan, sebuah "mindset" yang aneh karena pengguna KRL yang lalu lalang menyeberang dianggap penyebab macet ketimbang pengguna kendaraan pribadi.

Kompas.com pernah mencoba membandingkan waktu yang dihabiskan saat menyeberang langsung di jalan raya dengan menyeberang lewat JPO di Stasiun Tanjung Barat ini.

Akses yang dipilih adalah pintu masuk sebelah barat yang berada di sisi Jalan Raya Lenteng Agung arah Pasar Minggu.

JPO Tanjung Barat sisi arah Pasar Minggu diperkirakan memiliki tinggi 5 meter dan lebar 10 meter. Hasilnya sebagai berikut:

- Tanpa JPO: Hanya butuh 13 langkah dalam waktu 6 detik
- Lewat JPO: 1 menit 18 detik dan harus menaiki 32 anak tangga saat naik dan 36 anak tangga saat turun

Di Jakarta dan Jabodetabek secara umum, penyeberangan model JPO adalah fasilitas yang umum ditemui.

Hampir semua halte transjakarta bahkan aksesnya menggunakan JPO.

Di banyak ruas jalan, median jalan bahkan sampai diberi pagar demi memaksa pejalan kaki menyeberang lewat JPO.

Padahal, di kota-kota di negara maju, JPO adalah fasilitas yang hampir sulit untuk ditemukan, apalagi untuk penyeberangan di ruas jalan dalam kota.

Communications and Partnership Manager ITDP Indonesia Fani Rachmita mengatakan, di negara maju pada umumnya, JPO hanya dibangun ketika ada hambatan alam, seperti sungai dan laut, ataupun saat bersinggungan dengan jalan tol dan rel kereta api.

Biasanya, JPO juga dibangun hanya untuk penghubung antargedung.

"JPO (di atas jalan raya) yang masih ditemukan umumnya juga karena faktor telanjur dibangun, kalau kasus seperti ini biasanya di bawahnya disertai dengan zebra cross sebagai opsi penyeberangan," kata Fani kepada Kompas.com, Minggu (26/1/2020).

Menurut Yasin, pola pikir pembuat kebijakan di Indonesia menganggap "walkability" atau kemudahan berjalan kaki adalah dengan menyediakan JPO.

"Di Indonesia, desain proyek TOD (transit oriented development) tidak akan diterima jika tidak ada desain 'JPO ikonik'. Walkability = JPO. Di Belanda, desain TOD saya akan langsung dilempar dosen apabila saya berani memasukkan 'JPO ikonik; ke dalam desainnya," tulis alumnus Universitas Breda tersebut dalam unggahan di akun twitternya pada 20 Mei 2020.

Disadari atau tidak, JPO membuat rute yang ditempuh pejalan kaki lebih jauh dari yang seharusnya. Terlebih lagi fasilitas ini juga tak ramah untuk kalangan rentan.

Dari eksperimen sosial tersebut, tak ada satu pun pengguna kursi roda yang mampu menaiki ramp penghubung trotoar dan halte secara mandiri alias tanpa bantuan orang lain.

Pasalnya, kemiringan ramp terlalu curam.

Untuk itu, ITDP menyarankan perbaikan kemiringan ramp.

Selain itu, untuk solusi jangka pendek, ITDP menyarankan mengusulkan agar ramp sedikit dimodifikasi dengan diberi tangga.

Tangga diperuntukan bagi penumpang umum untuk mempersingkat waktu agar tak perlu berjalan memutar.

Sementara itu, untuk solusi jangka panjang, ITDP menilai jauh lebih baik apabila JPO diubah menjadi model penyeberangan sebidang berbentuk pelican crossing.

Dengan penyeberangan model ini, penumpang transjakarta, baik umum maupun pengguna kursi roda, dapat lebih mudah mengakses halte.

"Orientasi pembangunan kota yang selalu mengutamakan kendaraan bermotor membuat banyak kebijakan yang memberikan prioritas bagi pejalan kaki adalah sesuatu yang janggal dan salah."

"Menuding pemberian fasilitas pejalan kaki yang humanis menjadi penyebab kemacetan adalah mindset yang lebih mendukung pembangunan kota yang berpihak pada kendaraan bermotor," sebut ITDP dalam artikel tersebut.

Upaya untuk mengubah JPO jadi pelintasan sebidang yang lebih nyaman bukannya tidak ada.

Pada Juli 2018, JPO di Bundaran HI dibongkar dan diganti dengan penyeberangan jenis pelican crossing yang ditempatkan di depan Hotel Pullman.

Pelican crossing kemudian menjadi akses penghubung dari trotoar ke Halte Bundaran HI.

Jenis penyeberangan serupa juga bisa ditemukan di Halte Sarinah dan Tosari.

Sayangnya, upaya serupa tak dilanjutkan lagi.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lebih memilih membangun JPO "instagramable" yang biaya pembangunannya 10 kali lipat lebih mahal ketimbang pelican crossing.

JPO model ini bisa ditemukan di antaranya di depan Ratu Plaza, depan Gelora Bung Karno, depan Mapolda Metro Jaya, ataupun di Simpang Senen.

Menurut kajian ITDP, meski terkesan megah dan menarik, JPO instagramable tetap tidak mengedepankan fungsi yang mempermudah perjalanan pejalan kaki.

Mengacu ke pengamatan ITDP di Simpang Senen, banyak pejalan kaki yang lebih memilih menyeberang tidak melalui JPO.

Karena itu, mereka mengibaratkan JPO tak lebih dari infrastruktur mubazir yang mengatasnamakan pejalan kaki.

Jadi, ketimbang mempermegah JPO, ITDP menyarankan Pemerintah Provinsi DKI melakukan redesain simpang dengan menitikberatkan penyeberangan jenis pelican crossing, zebra cross dan kelengkapannya.

"Didukung aturan usang, JPO sudah seharusnya ditinggalkan dari perencanaan pembangunan kota yang ramah pejalan kaki dan pesepeda."

"JPO bukan merupakan solusi, karena akar permasalahannya adalah kecepatan kendaraan yang menyalahi aturan. Dengan membuat JPO, justru akan memancing kendaraan bermotor untuk melaju melebihi batas kecepatan," sebut ITDP dalam keterangan tertulisnya pada 18 Maret 2021.

Sebagai informasi, biaya pembangunan satu JPO instagramable ini tercatat mencapai sekitar Rp 10 miliar, sedangkan pelican crossing hanya sekitar Rp 100 juta.

Tak seperti JPO lama, JPO terbaru yang instagramable ini sudah dilengkapi lift untuk memudahkan kelompok rentan.

Namun, adanya lift tentu membuat JPO ini butuh biaya perawatan ekstra jika tidak ingin bernasib seperti lift JPO Tosari dan Sarinah yang dulunya dibiarkan terbengkalai.

Pakar safety driving Jusri Pulubuhu mengatakan, kesadaran sebagian besar pengguna kendaraan di Indonesia akan hak pejalan kaki masih kurang.

Menurut Jusri, jangankan memberi kesempatan pejalan kaki menyeberang, dalam banyak kasus, trotoar bahkan sering diokupasi oleh pengguna sepeda motor.

Contoh lain yang juga sering ditemui, kata Jusri, adalah pengguna kendaraan yang tidak berhenti di belakang garis saat lampu merah.

Akibatnya, pejalan kaki kesulitan untuk melintas di zebra cross.

Di negara maju, kata dia, pengguna kendaraan relatif bisa menghargai hak-hak pejalan kaki.

"(Di negara maju) enggak usah ada lampu (sinyal untuk menyeberang), begitu melihat ada orang mau menyeberang mereka akan langsung berhenti," kata pendiri Jakarta Defensive Driving Consulting itu kepada Kompas.com, Selasa (29/12/2020).

Khusus di Jakarta, Jusri menilai, penyeberangan model pelican crossing atau zebra cross akan relatif lebih aman jika dijaga petugas.

Ia mencontohkan penyeberangan depan Senayan City yang relatif aman untuk pejalan kaki karena selalu dijaga petugas keamanan.

Menurut Jusri, relatif amannya pelican crossing yang dijaga petugas merupakan dampak dari mentalitas pengguna kendaraan di Indonesia yang baru bisa tertib kalau ada petugas.

"Kalau hanya mengharapkan kesadaran pengguna kendaraan yang terjadi adalah ada yang sadar, ada yang enggak sadar. Karena yang enggak sadar lebih banyak, lama-lama yang sadar ikut terpengaruh," ujar Jusri.

Ini data dari Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ).

Masih minimnya penggunaan transportasi umum massal menimbulkan kemacetan yang kerugiannya mencapai sekitar Rp 100 triliun per tahun.

Untuk menekan kemacetan, pemerintah menargetkan pengguna transportasi umum massal di Jabodetabek harus sudah mencapai 60 persen total perjalanan harian pada 2029.

Target ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek.

Namun, berbicara penggunaan transportasi umum massal sendiri tentunya tak bisa dilepaskan dari kenyamanan masyarakat yang bukan pengguna kendaraan bermotor.

Sebab, pengguna transportasi umum massal pastinya adalah para pejalan kaki dan tak jarang juga mereka yang bersepeda.

Tapi, apa jadinya jika upaya pelebaran trotoar, perubahan JPO ke pelican crossing, dan pembuatan jalur sepeda justru dianggap sebagai penyebab kemacetan?

"Ditambah isu polusi udara yang meningkat dan sebagian besar disumbangkan oleh kendaraan bermotor, sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak fokus pada penyediaan fasilitas untuk transportasi non-bermotor," sebut ITDP dalam artikel berjudul "Belajar Berbagi Jalan dengan Jalur Sepeda" yang diterbitkan pada 4 Desember 2019.

Khusus pesepeda, ITDP menyebutkan, pembangunam jalur khusus dapat mendukung adanya moda alternatif dalam bertransportasi.

Jalur-jalur sepeda yang dibangun terintegrasi transportasi publik dianggap dapat mempermudah pesepeda dalam melakukan perjalanan jarak jauh.

Di samping itu, jalur sepeda yang didesain tepat guna juga berpotensi untuk melayani perjalanan pendek kurang dari lima kilometer yang saat ini didominasi oleh sepeda motor.

"Meningkatkan penggunaan sepeda dan mempermudah akses pejalan kaki adalah beberapa cara yang paling terjangkau dan efektif bagi kota untuk mengurangi emisi CO2, sekaligus meningkatkan akses menuju peluang ekonomi dan menciptakan kota yang sejahtera dan ramah bagi semua penduduknya," tulis ITDP.

https://megapolitan.kompas.com/read/2021/05/23/13130391/memosisikan-diri-sebagai-manusia-tanpa-mesin-di-kota-car-oriented

Terkini Lainnya

Rute KA Argo Cheribon, Tarif dan Jadwalnya 2024

Rute KA Argo Cheribon, Tarif dan Jadwalnya 2024

Megapolitan
Polisi Grebek Laboratorium Narkoba di Perumahan Elite Kawasan Sentul Bogor

Polisi Grebek Laboratorium Narkoba di Perumahan Elite Kawasan Sentul Bogor

Megapolitan
Bau Sampah Terasa Menyengat di Lokbin Pasar Minggu

Bau Sampah Terasa Menyengat di Lokbin Pasar Minggu

Megapolitan
Ini Tujuan Benyamin Ikut Penjaringan Bakal Cawalkot Tangsel di Tiga Partai Rival

Ini Tujuan Benyamin Ikut Penjaringan Bakal Cawalkot Tangsel di Tiga Partai Rival

Megapolitan
Usaha Dinsos Bogor Akhiri Perjalanan Mengemis Rosmini dengan Telusuri Keberadaan Keluarga

Usaha Dinsos Bogor Akhiri Perjalanan Mengemis Rosmini dengan Telusuri Keberadaan Keluarga

Megapolitan
Pembunuh Perempuan Dalam Koper Sempat Tinggalkan Jasad Korban di Hotel

Pembunuh Perempuan Dalam Koper Sempat Tinggalkan Jasad Korban di Hotel

Megapolitan
Dipecat karena Dituduh Gelapkan Uang, Ketua RW di Kalideres: Buat Apa Saya Korupsi Kalau Datanya Lengkap

Dipecat karena Dituduh Gelapkan Uang, Ketua RW di Kalideres: Buat Apa Saya Korupsi Kalau Datanya Lengkap

Megapolitan
Sudah Sepi Pembeli, Uang Retribusi di Lokbin Pasar Minggu Naik 2 Kali Lipat

Sudah Sepi Pembeli, Uang Retribusi di Lokbin Pasar Minggu Naik 2 Kali Lipat

Megapolitan
Benyamin-Pilar Kembalikan Berkas Penjaringan Pilkada Tangsel, Demokrat Sambut dengan Nasi Kebuli

Benyamin-Pilar Kembalikan Berkas Penjaringan Pilkada Tangsel, Demokrat Sambut dengan Nasi Kebuli

Megapolitan
Sehari Berlalu, Remaja yang Tenggelam di Kali Ciliwung Belum Ditemukan

Sehari Berlalu, Remaja yang Tenggelam di Kali Ciliwung Belum Ditemukan

Megapolitan
Polisi Masih Observasi Kondisi Kejiwaan Anak yang Bacok Ibu di Cengkareng

Polisi Masih Observasi Kondisi Kejiwaan Anak yang Bacok Ibu di Cengkareng

Megapolitan
Pedagang Sebut Lokbin Pasar Minggu Sepi karena Lokasi Tak Strategis

Pedagang Sebut Lokbin Pasar Minggu Sepi karena Lokasi Tak Strategis

Megapolitan
Ini Kantong Parkir Penonton Nobar Timnas Indonesia U-23 Vs Irak U-23 di Monas

Ini Kantong Parkir Penonton Nobar Timnas Indonesia U-23 Vs Irak U-23 di Monas

Megapolitan
Golkar Depok Ajukan Ririn Farabi Arafiq untuk Maju Pilkada 2024

Golkar Depok Ajukan Ririn Farabi Arafiq untuk Maju Pilkada 2024

Megapolitan
Jasad Bayi Tergeletak di Pinggir Tol Jaksel

Jasad Bayi Tergeletak di Pinggir Tol Jaksel

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke