Gudang itu sebelumnya disegel polisi pada 9 Juli 2021 lantaran digunakan sebagai lokasi penimbunan obat terkait Covid-19, termasuk azithromycine dihydrate.
"Iya sudah beroperasi karena kan ada selain obat azithromycine (obat yang ditimbun) yang harus didistribusikan ke masyarakat yang bukan barang bukti jadi sudah harus beroperasi lagi," kata Kanit Krimsus Polres Jakarta Barat, AKP Fahmi Fiandri, kepada wartawan, Senin (2/8/2021).
Garis polisi yang mulanya terpasang di depan gudang telah dicabut. Kebijakan ini, kata Fahmi, diambil setelah polisi melakukan koordinasi dengan pihak Kejaksaan Negeri Jakarta Barat.
"Yang pasti setelah kasus naik sidik dan setelah koordinasi awal dengan jaksa itu, setelah ditinjau jaksa dan atas petunjuk jaksa agar segera dibuka police line agar pendistribusian obat lancar," ujar Fahmi.
Namun, Fahmi memastikan bahwa operasional PT ASA dipantau secara ketat oleh aparat kepolisian.
"Jadi setiap hari (aparat dari) Polsek Kalideres ada yang mengawasi ke sana untuk memastikan distribusi obat berjalan sebagaimana mestinya," kata Fahmi.
Sementara, obat-obatan yang dijadikan barang bukti kasus itu masih berada di Mapolres Jakarta Barat.
Obat-obatan tersebut akan kembali didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Adapun, obat-obatan yang dijadikan barang bukti termasuk 730 boks azithromycine dihydrate 500 miligram, 511 boks grathazon dexamethasone 0,5 miligram, 1.765 boks grafadon paracetamol 500 miligram, 850 boks intunal x tablet obat batuk dan flu.
Ada juga 567 boks lanadexon dexamethasone 0,5 miligram, 145 boks flumin kaplet, 1.759 boks flucadex kaplet, serta 350 boks caviplex.
Diketahui, obat-obatan tersebut masuk dalam wilayah distribusi Jabodetabek dan Jawa Barat.
Atas kasus ini, polisi juga telah menetapkan dua terdangka, yaknin YP (58), direktur PT ASA, dan S (56), komisaris utama PT ASA. S dan YP dijerat Pasal 107 Jo Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan, Pasal 62 ayat (1) Jo Pasal 10 Undang-Undang RI nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta Pasal 14 jo Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang RI nomor 4 tahun 1984 tentan Wabah Penyakit Menular.
Mereka terancam hukuman penjara selama paling lama lima tahun.
Keduanya ditetapkan sebagai tersangka setelah polisi memeriksa 18 orang saksi dan lima orang ahli.
Kini, keduanya belum ditahan. Pemeriksaan tersangka, kata Fahmi, akan dilakukan pada Selasa besok dan Rabu lusa.
Hingga kini, kedua tersangka, kata Fahmi, bersikap kooperatif dan menaati proses hukum.
Pemilik instruksikan karyawan
Sebelumnya, polisi mengungkapkan, seorang apoteker PT ASA mengaku diinstruksikan untuk tak menjual azithromycin terlebih dahulu.
"Salah satu apoteker menjelaskan ada percakapan dengan pemilik PT ASA untuk tidak menjual dulu azithromycin, jadi ada indikasi untuk ditimbun," kata Kapolres Jakarta Barat Kombes Pol Ady Wibowo dalam jumpa pers pada 12 Juli lalu.
Salah seorang pelanggan PT ASA juga mengeluhkan hal yang sama.
"Salah satu customer yang menanyakan obat tersebut sudah ada atau belum, tapi dijawab belum ada. Jadi obat itu sebetulnya sudah ada, tapi disampaikan bahwa belum ada," kata Ady.
Bahkan, saat pihak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menanyakan stok Azithromycin, pihak perusahaan menyatakan tidak memiliki stok obat tersebut.
Tak hanya menimbun, PT ASA juga sempat menjual azithromycin di atas harga eceran tertinggi (HET).
"Kami melihat di sini ada kenaikan harga menjadi Rp 3.350 per tablet," jelas Ady.
Padahal, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4826/2021 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat dalam Masa Pandemi Covid-19, harga Azithromycin adalah Rp 1.700 per tablet.
Bahkan, PT ASA juga disebut melakukan pemalsuan faktur agar tak kedapatan menjual obat di atas harga eceran.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/08/02/11203091/gudang-pt-asa-tempat-penimbunan-obat-terkait-covid-19-kembali-beroperasi