JAKARTA, KOMPAS.com - Gegap gempita terasa di Lapangan Ikada Jakarta pada 19 September 1945, hampir 1,5 bulan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
"Merdeka, Merdeka...” teriakan dari sekitar 300.000 orang pada saat itu.
Lapangan Ikada saat itu menjadi saksi lautan manusia yang bertekat mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Moeffreni Moe'min, Komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) selaku pendamping Soekarno dalam buku "Perjuangan Mempertahankan Jakarta Masa Awal Proklamasi: Kesaksian Para Pelaku Sejarah" berkisah masyarakat berbondong-bondong datang ke Lapangan Ikada sekitar pukul 10.00 WIB.
Masyarakat bergelora menyambut Presiden Soekarno ketika naik ke tribun.
Mereka yang berkumpul di Lapangan Ikada memiliki satu tekad bulat, yaitu mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru berumur satu bulan.
Mantan Wakil Presiden Indonesia, Adam Malik, dikutip dari Harian Kompas, 21 September 1979, menganggap rapat raksasa itu sebagai genderang perang melawan tentara Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan.
Hal itu bukan tanpa alasan. Rapat tersebut mampu membakar semangat rakyat Indonesia, sehingga perang melawan Belanda pun tak terhindarkan di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Peristiwa 10 November di Surabaya.
Dikutip dari Harian Kompas, 20 September 1996, pada hari itu, Lapangan Ikada bak lautan manusia, dengan balutan warna-warni merah putih. Sebanyak 300.000 orang berkumpul di lapangan itu. Sebagai perbandingan, jumlah penduduk Jakarta waktu sekitar 400.000 jiwa.
Rapat tersebut diinisiasi oleh para pemuda yang cemas dan khawatir ketika tentara Sekutu akan membentuk markas besar di Jakarta. Tak hanya itu, para pemuda ini juga marah ketika mengetahui kapal berbendera Sekutu akan berlabuh di Tanjung Priok.
Soebagijo Ilham Notodidjojjo dalam Harian Kompas, 17 September 1976, menyebutkan, tak ada perubahan yang terjadi setelah sebulan sejak Proklamasi Kemerdekaan RI.
Meski kabinet telah dibentuk dan tak ada lagi lagu Kimigayo setiap pagi, tetapi perubahan lainnya belum terasa.
Berkumpulnya ratusan ribu orang itu berkat kabar yang beredar dari mulut ke mulut. Awalnya, rapat direncanakan pada 17 September 1945, tepat satu bulan setelah kemerdekaan.
Akan tetapi, karena adanya ancaman dari tentara Jepang dan Sekutu, rapat raksasa di Lapangan Ikada pun akhirnya diundur menjadi 19 September 1945.
Meski larangan mengadakan rapat raksasa telah dikeluarkan oleh tentara Jepang, namun rakyat tetap membanjiri Lapangan Ikada dengan penuh semangat.
Mereka berasal dari berbagai wilayah Jakarta dan sekitarnya, seperti Penjaringan, Tanjungpriok, Mangga Besar, Senen, Tanahabang dan Jatinegara.
Bahkan banyak dari mereka yang berasal Bekasi, Bogor, Tangerang, dan Banten. Sebagian besar peserta datang menggunakan kereta api dan berhenti di Stasiun Gambir.
Mereka datang dengan membawa poster-poster dan bendera merah putih. Tentara Jepang pun melakukan penjagaan ketat dengan senjata lengkap.
Suasana yang tegang dan mencekam itu tak mampu membuat rakyat gentar. Mereka menunjukkan satu semangat yang sama kepada dunia, yaitu Bangsa Indonesia sudah merdeka dan berdaulat!
Di hari yang sama, Presiden Republik Indonesia Soekarno mengadakan sidang kabinet pertama dengan sejumlah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Mengenang peristiwa rapat Ikada lewat patung
Di sisi selatan Monas, patung Ikada berdiri untuk mengenang peristiwa rapat besar Ikada.
Dilansir dari laman Jakarta Tourism, patung IKADA di area Monas menggambarkan sosok lima pemuda yang sedang memancangkan bendera Merah Putih.
Lima pemuda merupakan jumlah minimal yang menggambarkan himpunan massa dengan sikap tekad, berani, dan optimis.
Pembangunan patung Ikada dirancang oleh seorang dosen ITB dan pematung terkenal bernama Sunaryo.
Patung Ikada pertama kali dibangun pada 19 September 1987 dan selesai dibangun pada 1 Februari 1988.
Patung Ikada kemudian diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta kala itu Wiyogo Atmodarminto pada 20 Mei 1988.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/08/17/05352881/mengingat-gelora-rapat-ikada-lewat-patung-di-monas