Salin Artikel

Kisah Pilu Orangtua Napi Korban Kebakaran Lapas Tangerang: Baru Malam Sebelumnya Video Call

Putra sulungnya, I Wayan Tirta Utama, meninggal dunia dalam kebakaran Lapas Kelas 1 Tangerang, Banten, pada Rabu dini hari lalu.

"Minggu kemarin dapat berita dari petugas (lapas) orang Bali, (Wayan) dapat remisi Lebaran, remisi 17-an, jadi dia bilang tahun depan kalau enggak Maret atau April 2022 (Wayan bisa bebas)," ungkap Nyoman kepada Kompas.com.

Tidak jelas apakah kabar itu hanya pemanis di lidah belaka atau memang sungguhan.

Pasalnya, Wayan divonis 14 tahun penjara setelah didakwa melakukan pembunuhan terhadap Sri Wulandari di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, pada 2017.

Nyoman menyebutkan, ia diberi tahu bahwa Wayan berkelakuan baik selama mendekam di balik jeruji besi. Hal itu dianggapnya menjadi sebab bahwa putra sulungnya bisa bebas jauh lebih cepat.

"Saya gemetar, megang HP saja tidak kuat," ucap Nyoman menceritakan reaksinya ketika mendengar berita kebakaran lapas kemarin.

"Almarhum anak paling tua, bahkan semalam tidak bisa tidur saya, mikirin, kok tragis benar. Tapi, namanya takdir orang," tambahnya.

Panggilan terakhir

Wayan meninggalkan seorang istri dan dua orang anak. Satu anak berusia remaja, sedangkan seorang anak lain masih belia.

"Yang kecil belum sekolah. Tahun ini baru mau masuk TK," kata Nyoman.

Wayan memang melakukan kejahatan yang menyebabkannya dipenjara. Namun, bagi anak-anaknya, Wayan tetap ayah mereka. Bagi istrinya, Wayan tetap suaminya. Untuk Nyoman, Wayan tetap anak laki-lakinya yang ia asuh sejak dalam gendongan.

Belakangan, Nyoman tak sanggup untuk sering bersua dengan putranya di Lapas Tangerang.

Ia punya masalah kesehatan dan beberapa bulan lalu sempat terpapar Covid-19. Istri Nyoman meninggal akibat virus itu.

Sebelum terpapar Covid-19, beruntung mereka sempat berjumpa dengan Wayan.

Cinta dan rindu kepada Wayan tidak terpisah hanya gara-gara jeruji besi. Nyoman bercerita, Wayan sering sekali mengajak keluarganya untuk melepas kangen meski hanya melalui suara.

Selasa lalu atau sehari sebelum kebakaran, malam hari, Wayan seperti biasa mengajak keluarganya untuk bertukar kabar lewat udara.

Tidak ada yang tahu, malam itu adalah kali terakhir telepon mereka berdering dan disusul suara Wayan di ujung telepon.

"Jam 22.00, malam Rabu. Masih video call sama anak dan istrinya, sama saya juga. (Seperti) biasa video call setiap dia menanyakan kabar anaknya, ya teleponan," kenang Nyoman.

Pembicaraan pada Selasa malam itu berlangsung biasa-biasa saja. Nyoman bilang, suara Wayan juga terdengar sehat. Wayan mengaku dalam keadaan segar-bugar.

"Sudah makan?" ungkap Nyoman menirukan pertanyaan Wayan di ujung telepon malam itu.

"Sudah," jawab anak Wayan.

"Kok belum tidur, sudah jam 10 malam," balas Nyoman.

"Iya, Yah," sahut anak Wayan, "Ini mau berdoa, mau tidur." "Berdoa, ya, Yah."

Begitu saja, yang Nyoman ingat dan sudi ia sampaikan kepada wartawan, tentang percakapan terakhir keluarganya. Keluarga seorang narapidana yang saat ini dilanda duka.

Pertanyakan jumlah sipir yang tak sebanding

Nyoman mengkritik pola pengawasan di dalam lapas yang dianggap tak sebanding dengan jumlah penghuni.

Hal itu turut andil dalam jumlah korban jiwa yang timbul akibat peristiwa kebakaran tersebut.

"Ini kan yang salah negara. Masak hanya 12 orang dari sekian banyak blok," kata dia.

Dua belas orang yang disinggung oleh Nyoman adalah jumlah sipir. Diketahui, jumlah sipir di Lapas Tangerang memang hanya 12-13 orang per regunya.

Padahal, kapasitas normal Lapas Tangerang 600 orang. Pada saat kebakaran pada Rabu dini hari itu, kapasitas itu sudah kelebihan 1.472 orang, alias 245 persen atau sekitar tiga kali lipat lebih banyak, menjadi 2.072 orang.

Blok C yang terbakar dihuni oleh 122 orang. Itu sudah kelebihan penghuni. Waktu kebakaran melanda, semua sel dalam keadaan terkunci.

Seandainya sel terkunci pada dini hari itu, dengan jumlah sipir yang hanya secuil, plus jumlah penghuni yang begitu besar, siapa pun mampu membayangkan betapa sulitnya melakukan evakuasi di tengah kejaran api.

Nyoman menganggap, pemerintah sudah selayaknya dan secepatnya menyalurkan santunan kepada keluarga para korban.

"Katanya Menteri Kumham itu katanya ada uang santunan. Saya dengar ada," ujar Nyoman.

"Saya minta persetujuan keluarga besar. Orang Bali tidak punya makam. Kalau nanti sudah ada dana, baru kremasi," kata dia.

Nyoman juga berharap agar ia maupun keluarga tidak dipersulit untuk mengambil jenazah Wayan. Sejauh ini, Nyoman mengaku harus melakukan tes DNA di RS Polri Kramat Jati, tempat jenazah Wayan berada saat ini.

Ia mengetahui keberadaan jenazah putranya berdasarkan inisiatifnya sendiri menghubungi pihak lapas dan pihak rumah sakit, bukan sebaliknya.

Karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan, Nyoman meminta adik Wayan untuk melakukan tes DNA. Namun, hasilnya tidak cocok.

"Kalau Bapak kuat, Bapak akan ke sana," ujar Nyoman.

https://megapolitan.kompas.com/read/2021/09/10/06482331/kisah-pilu-orangtua-napi-korban-kebakaran-lapas-tangerang-baru-malam

Terkini Lainnya

Motor dan STNK Mayat di Kali Sodong Raib, Keluarga Duga Dijebak Seseorang

Motor dan STNK Mayat di Kali Sodong Raib, Keluarga Duga Dijebak Seseorang

Megapolitan
Terganggu Pembangunan Gedung, Warga Bentrok dengan Pengawas Proyek di Mampang Prapatan

Terganggu Pembangunan Gedung, Warga Bentrok dengan Pengawas Proyek di Mampang Prapatan

Megapolitan
Ponsel Milik Mayat di Kali Sodong Hilang, Hasil Lacak Tunjukkan Posisi Masih di Jakarta

Ponsel Milik Mayat di Kali Sodong Hilang, Hasil Lacak Tunjukkan Posisi Masih di Jakarta

Megapolitan
Pakai Seragam Parkir Dishub, Jukir di Duri Kosambi Bingung Tetap Diamankan Petugas

Pakai Seragam Parkir Dishub, Jukir di Duri Kosambi Bingung Tetap Diamankan Petugas

Megapolitan
Sekolah di Tangerang Selatan Disarankan Buat Kegiatan Sosial daripada 'Study Tour' ke Luar Kota

Sekolah di Tangerang Selatan Disarankan Buat Kegiatan Sosial daripada "Study Tour" ke Luar Kota

Megapolitan
RS Bhayangkara Brimob Beri Trauma Healing untuk Korban Kecelakaan Bus SMK Lingga Kencana

RS Bhayangkara Brimob Beri Trauma Healing untuk Korban Kecelakaan Bus SMK Lingga Kencana

Megapolitan
KPU Kota Bogor Tegaskan Caleg Terpilih Harus Mundur jika Mencalonkan Diri di Pilkada 2024

KPU Kota Bogor Tegaskan Caleg Terpilih Harus Mundur jika Mencalonkan Diri di Pilkada 2024

Megapolitan
Pemilik Mobil yang Dilakban Warga gara-gara Parkir Sembarangan Mengaku Ketiduran di Rumah Saudara

Pemilik Mobil yang Dilakban Warga gara-gara Parkir Sembarangan Mengaku Ketiduran di Rumah Saudara

Megapolitan
Sebelum Ditemukan Tak Bernyawa di Kali Sodong, Efendy Pamit Beli Bensin ke Keluarga

Sebelum Ditemukan Tak Bernyawa di Kali Sodong, Efendy Pamit Beli Bensin ke Keluarga

Megapolitan
Pemprov DKI Diminta Prioritaskan Warga Jakarta dalam Rekrutmen PJLP dan Tenaga Ahli

Pemprov DKI Diminta Prioritaskan Warga Jakarta dalam Rekrutmen PJLP dan Tenaga Ahli

Megapolitan
Polisi Kesulitan Identifikasi Pelat Motor Begal Casis Bintara di Jakbar

Polisi Kesulitan Identifikasi Pelat Motor Begal Casis Bintara di Jakbar

Megapolitan
Parkir Sembarangan Depan Toko, Sebuah Mobil Dilakban Warga di Koja

Parkir Sembarangan Depan Toko, Sebuah Mobil Dilakban Warga di Koja

Megapolitan
Terminal Bogor Tidak Berfungsi Lagi, Lahannya Jadi Lapak Pedagang Sayur

Terminal Bogor Tidak Berfungsi Lagi, Lahannya Jadi Lapak Pedagang Sayur

Megapolitan
Duga Ada Tindak Pidana, Kuasa Hukum Keluarga Mayat di Kali Sodong Datangi Kantor Polisi

Duga Ada Tindak Pidana, Kuasa Hukum Keluarga Mayat di Kali Sodong Datangi Kantor Polisi

Megapolitan
Dijenguk Polisi, Casis Bintara yang Dibegal di Jakbar 'Video Call' Bareng Aipda Ambarita

Dijenguk Polisi, Casis Bintara yang Dibegal di Jakbar "Video Call" Bareng Aipda Ambarita

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke