JAKARTA, KOMPAS.com - “Kenapa kami diperlakukan seperti ini? Apa dosa kami?,” ujar Sudirman Thalib (39) dengan suara meninggi.
Sudirman adalah salah satu korban dari kekejaman teroris yang melakukan pengeboman di Kedutaan Besar (Kedubes) Australia pada September 2004 lalu.
Akibat aksi biadab teroris tersebut, Sudirman kini menjadi cacat. Mata kirinya diangkat. Tangannya pun hampir diamputasi.
Namun, Sudirman kini sudah berdamai dengan kondisinya dan ulah teroris. Sudirman tetap mengingat bagaimana ia memaafkan teroris.
Saat itu, ia bertemu dengan Ali Fauzi, mantan pentolan Jamaah Islamiah (JI) dan adik dari trio bomber di Bali di awal tahun 2000.
Begitu melihat sosok Ali Fauzi, kala itu Sudirman hanya bisa bertanya dalam hati mengapa ia menjadi korban aksi terorisme.
Pada tahun 2013, Sudirman bersama para korban aksi terorisme bertemu dengan eks teroris termasuk Ali Fauzi.
Pertemuan yang digelar di Klaten, Jawa Tengah tersebut difasilitasi oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA).
“Kami tidak siap untuk bertemu. Kami tidak siap untuk berdiskusi dengan beliau (Ali Fauzi),” ujar Sudirman dalam diskusi yang digelar oleh AIDA di Jakarta, Rabu (9/10/2021).
Sudirman pun sangat berat untuk mendengarkan cerita korban maupun mengingat aksi terorisme di masa lalu.
Namun, Sudirman punya prinsip, harapan, dan niat yang tulus. Demi masa perdamaian dan masa depan, Sudirman dan para korban yang lainnya ingin tak ada korban aksi terorisme ke depannya.
“Di masa-masa itu saya lalui, datanglah AIDA mengajak kami semua untuk ayok kita melakukan peran yang lebih untuk masyarakat untuk orang lain,” kata Sudirman.
Sudirman dan para korban aksi teroris duduk bersama dalam satu meja. Sudirman, para korban lainnya, dan eks teroris berbagi kisah.
Sudirman telah berbicara dari hati ke hati dengan Ali Fauzi. Akhirnya, Sudirman memaafkan dan bertekad untuk menyelamatkan generasi yang akan datang dari aksi terorisme.
“Satu harapan kami dari korban, kami tidak ingin lagi ada korban-korban selanjutnya ke depan. Kami tidak ingin lagi anak-anak kami saudara kami menjadi korban-korban lagi. Itu adalah harapan impian kami,” ujar Sudirman.
Sudirman pun awalnya takut untuk membagikan kisah pilunya sebelum bertemu dengan AIDA. Bagi Sudirman, mengisahkan hidupnya adalah proses untuk bertahan untuk hidup. Memendam cerita kelamnya malah membuat hidup Sudirman tersiksa.
“Dulu saya enggak berani ngomong. Saya speechless, saya kalau ngomong itu nangis,” kata Sudirman.
“Sampai hari ini, masih beban itu ada, tapi alhamdulillah sudah mulai kembali seperti biasalah walaupun berat tapi saya pikir demi kedamaian, demi kehidpan yang lebih baik ke depannya, kenapa kami korban tidak bisa berperan untuk bangsa dan negara,” tegas Sudirman.
Ledakan bom dahsyat
HR Rasuna Said, 9 September 2004. Tiga bulan setelah diterima menjadi satpam Kedubes Australia, Sudirman luka berat.
Sudirman saat itu sedang berdiri di depan gerbang utama Kedubes Australia. Dari jarak 10 meter, bom meledak. Sudirman terlempar.
"Tiba-tiba ada ledakan yang dahsyat yang saya tidak tahu waktu itu apa yang terjadi dengan saya. Tiba-tiba badan saya terlempar. Dengan spontan saya mengucapkan takbir, Allahu Akbar. Saya ingat tiga kali (takbir)," ujar Sudirman dengan suara parau.
Ledakan itu akhirnya diketahui berasal dari bom mobil. Modus peledakan bomnya mirip dengan kejadian di Bali dan Hotel JW Marriott Jakarta.
Harian Kompas edisi 10 September 2004 memberitakan, ledakan bom tersebut juga menimbulkan kerusakan parah pada belasan gedung di sekitarnya yang berjarak sekitar 300 meter. Mobil-mobil saat itu terlempar akibat dahsyatnya ledakan.
Sudirman tergeletak dan masih sadar. Ia melihat sekujur badannya penuh darah. Kedua tangannya hancur dan patah. Darah mengucur di kepala dan tubuh Sudirman.
"Baju robek semua. Dan detik itu membuat saya merasa mungkin ini akhir dari perjalanan hidup saya, akhir dari perjuangan saya. Saya pasrahkan pada Allah, bahwa ya Allah jika hari ini sudah hari terakhir buat hamba, hamba ikhlas," kenang Sudirman.
Dalam masa-masa kritisnya, Sudirman masih ingat ayah dan ibunya di Bima. Niat awalnya untuk sukses di Jakarta membuat dirinya kuat.
Sudirman dalam kondisi luka berat dibawa ke rumah sakit. Sudirman harus berhadapan dengan pilihan amputasi. Kala itu, dokter memvonis tangan Sudirman tak bisa diselamatkan dan tak ada yang menjamin pengobatan itu.
"Dan alhamdulillah dari pihak kedutaan datang dan bilang ke rumah sakit, bertangung jawab penuh atas saya, atas korban bom kedutaan," ujar Sudirman.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/12/10/18100121/jejak-mendamaikan-luka-penyintas-bom-kedubes-australia-apa-dosa-kami