Beberapa analisis yang dikemukakan oleh pihak yang berwenang. Antara lain mereka menyebutkan bahwa subyek yang meninggal karena tidak adanya asupan makanan yang cukup lama ke tubuh mereka.
Hasil analisis forensik juga menyebutkan bahwa mereka meninggal tidak bersamaan.
Bukti-bukti di lapangan menunjukkan bahwa ada beberapa atau ada orang yang kemudian menyaksikan sebagian anggota keluarga itu meninggal sampai kemudian dia tidak bisa berbuat apa-apa dan akhirnya subyek terakhir wafat menyusul anggota keluarga yang sudah wafat lebih dulu.
Kesimpulan ini muncul dari bukti-bukti yang ditemukan bahwa ada upaya-upaya bertahan dari bau mayat yang dilakukan oleh subjek terakhir, seperti adanya kapur barus dan bedak bayi yang ditebarkan.
Terlepas dari semua penjelasan di atas, ada satu hal yang yang bisa disorot untuk membaca peristiwa ini dari perspektif sosiologi.
Di mana kejadian ini mengundang pertanyaan: bagaimana peran masyarakat pada keluarga ini?
Katakanlah bahwa keluarga yang kemudian meninggal ini benar karena kelaparan. Jika ternyata memang demikian, berarti kita sebagai publik patut mempertanyakan bagaimana pola relasi hubungan keluarga tersebut dengan tetangganya.
Adakah interaksi intens yang dilakukannya, sehingga mereka bisa sedikit mengetahui peristiwa apa yang berlaku di dalam rumah tersebut.
Sebab jika mendengar penjelasan pihak berwajib, bahwa ada yang sudah meninggal lebih dahulu, mengapa yang masih hidup tidak melapor kepada pihak RT atau memberitahukan kepada tetangganya, alih-alih menunggu waktu untuk “pergi” bersama mereka yang sudah wafat terlebih dahulu.
Begitu banyak pertanyaan yang menggayuti publik. Misalnya, apakah persepsi tentang individualisme perkotaan demikian telah membatasi keluarga tersebut untuk berinteraksi dan diketahui oleh publik?
Apakah faktor yang menyebabkan ketertutupan sikap dan perilaku mereka, sehingga meski dalam situasi mendapat musibah lebih memilih untuk tetap tertutup? Serta sejumlah pertanyaan lainnya, yang tentu saja tidak akan pernah bisa dikonfirmasi kepada pelaku.
Sejumlah pertanyaan ini kemudian mengundang kita untuk kembali menengok satu pendekatan yang lama sekali sudah berlaku dalam teori sosiologi. Pendekatan ini adalah komunitas.
Secara strata, komunitas berada di atas di atas keluarga, tetapi di bawah masyarakat. Terdapat pemaknaan yang berbeda antara komunitas dan kumpulan atau kerumunan.
Di mana komunitas biasanya disebut demikian karena di dalamnya memiliki nilai-nilai yang mengikat antara anggota suatu entitas.
Misalnya komunitas pencinta sepeda. Sepeda telah menjadi alat atau instrumen yang membuat anggota dalam komunikasi itu terikat.
Begitu pun komunitas-komunitas lain, seperti komunitas pelari, komunitas penggemar motor besar, komunitas vloger dan sebagainya.
Inti dari satu entitas yang disebut komunitas biasanya memang memiliki instrumen yang membuat mereka merasa beririsan di antara anggotanya. Di atas komunitas ada masyarakat yang jauh lebih kompleks.
Entitas tingkat RT itu bisa disebut sebagai masyarakat. Disebut demikian karena di dalamnya ada aturan yang mengelola hubungan antaranggota dalam berbagai interaksi tersebut.
Juga ada reward serta sanksi yang memungkinkan setiap entitas menerimanya sebagai ketentuan yang harus ditaati bersama.
Komunitas tidak tumbuh alamiah. Artinya, komunitas hadir dibentuk dan dirawat, sehingga eksistensinya diakui dan dirasakan, minimal oleh anggotanya.
Hubungan-hubungan dalam komunitas biasanya sudah tidak lagi mekanistik, justru organik. Setiap anggota membangun kesadaran sendiri tentang bagaimana empati, peduli, menghargai, dan sebagainya di dalam komunitasnya.
Komunitas juga bisa memudar seiring dengan meluruhnya nilai-nilai yang selama ini menjadi pengingatnya.
Faktor meluruhnya ikatan dalam komunitas biasanya karena sudah hilangnya kepercayaan kepada anggota di dalam komunitas tersebut dengan berbagai sebab. Ketidak percayaan ini pula yang kemudian bisa “menggusur” berbagai sikap positif dalam bermasyarakat.
Kembali ke persoalan yang dibahas di atas, untuk menemukan faktor apa yang menyebabkan keluarga itu tidak menemukan spirit komunitasnya.
Ada beberapa analisis yang bisa dijelaskan. Pertama, memudarnya semangat berkomunitas seiring dengan berbagai faktor yang membuat sesama anggota masyarakat menjadi “jauh”.
Lihat saja, ada banyak hal yang membuat kita bisa tidak perlu berinteraksi dengan sekitar. Belanja harian bisa sistem daring; begitu juga hal lain.
Bahkan, melawat kepada orang yang mendapatkan musibah kematian saja, kita bisa merasa cukup hadir secara online.
Kedua, minimnya interaksi antarsesama. Memang untuk berinteraksi di zaman serba gawai dan online ini, memerlukan effort tersendiri.
Untuk itu memang siapa pun harus memberikan ruang kepada sesama untuk tetap bisa berinteraksi secara langsung—meski bisa jadi sangat berat.
Tidak semua orang menemukan kenyamanan melalui interaksi secara daring. Oleh karena itu, cara-cara interksi konvensional tetap mesti dihadirkan untuk mengurangi perasaan keterasingan.
Komunitas tidak terkait dengan kuantitas. Sebab bisa jadi meskipun entitas keluarga dalam suatu kompleks perumahan itu banyak, mereka sebenarnya bukan komunitas.
Tetapi mereka adalah kumpulan keluarga yang karena tidak pernah atau kurang berinteraksi mereka tidak merasa memiliki irisan dan ikatan antartetangga.
Ini memang problem modernitas. Di mana kebebasan dan individualisasi menjadi basis yang kemudian membuat setiap orang di dalamnya merasa perlu dan tidak perlu untuk berhubungan dengan orang lain secara bebas.
Lalu bagaimana kita memberikan pemahaman agar tidak ada lagi kejadian serupa terulang di masa mendatang.
Maka di tengah arus individualisasi, konsumtivisme dan modernitas, tentu ini bukan pekerjaan yang mudah.
Namun bukan berarti tidak ada cara untuk bisa ditempuh untuk kembali mengembalikan harkat dan martabat yang disebut sebagai komunitas ini.
Pertama, tentu saja membangun saling empati melalui apa yang disebut oleh Habermas sebagai dialog intersubjektif melalui pertemuan-pertemuan berbasis kewargaan seperti rapat antarkeluarga, RT, arisan-arisan (keluarga atau RT), dan atau pertemuan lain yang sifatnya sosial kemasyarakat dan berdimensi geografi-ketetanggaan harus kembali dihidupkan.
Kedua, membangun nilai kebersamaan dengan memberikan pemahaman dan penyadaran bahwa tetangga harus lebih dulu menjadi tumpuan interaksi ketimbang saudara yang tinggalnya jauh.
Sebab itu, memosisikan tetangga terdekat sebagai keluarga, akan menghasilkan keeratan sosial dan akhirnya berdampak kepada hidupnya kembali komunitas.
Untuk itu maka bertetangga menjadi harus lebih memberikan makna ketimbang keluarga yang mungkin tidak tinggal di dekatnya.
Maka wajar jika Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa sebagian dari cermin seseorang yang memiliki dan memaknai serta menghayati keimanannya adalah menghormati tetangga atau mengutamakan tetangganya.
Ini bisa menjadi landasan untuk kita semua bahwa bertetangga sangat penting, terutama untuk membangun dan mengikatkan diri pada komunitas.
Jika ini bisa dilakukan, maka tidak mustahil kita bisa kembali menemukan indahnya komunitas dalam kehidupan kita.
Ketika keindahan itu muncul maka dengan sendirinya kita akan menyongsong kembali peradaban berbasis manusia.
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/11/14/09274531/kelaparan-di-kota-dan-tragedi-komunitas