Bagaimana tidak, pada usia keduanya saat ini, Sutinah dan Isah masih harus bekerja ekstra keras untuk mengangkut beragam barang di pasar demi upah yang tak seberapa dan tak menentu.
Perihal upah, ini menjadi masalah utama yang dialami Sutinah dan Isah maupun para buruh gendong lainnya.
Sebab, tidak ada standar untuk upah bagi buruh gendong, hanya berdasarkan keikhlasan para pengguna jasa angkut barang.
lsah menuturkan bahwa buruh gendong di Pasar Beringharjo rata-rata diberi upah sebesar Rp 5.000 untuk sekali angkut dengan beban 30-50 kilogram.
Jika bertemu pelanggan yang dermawan, mereka bisa mendapat bayaran yang lebih dari rata-rata, misalnya Rp 10.000 sekali angkut.
Namun, terkadang mereka juga diberi upah yang tak manusiawi oleh beberapa pengguna jasa angkut barang.
"Saya pernah diminta angkat barang dari lantai satu sampai lantai tiga, tapi ditawari upah hanya Rp 1.500. Ya saya tolak. Untuk beli minuman saja enggak cukup kalau Rp 1.500," tutur Isah, dilansir dari Harian Kompas, Senin (13/3/2023).
Meskipun begitu, lsah mengakui, upaya standarisasi upah buruh gendong sulit untuk diwujudkan.
Hal ini dikarenakan buruh gendong di area penjualan pakaian di Pasar Beringharjo memiliki cara kerja berbeda dengan buruh gendong di area lain.
Di area penjualan sayuran, misalnya, buruh gendong biasanya hanya diminta mengangkat barang dari satu tempat ke tempat lain.
Oleh karena itu, waktu yang dibutuhkan hanya beberapa menit saja. Mereka inilah yang biasa mendapat bayaran Rp 5.000 untuk sekali angkat barang.
Sementara itu, buruh gendong di area pakaian biasanya diminta membawakan barang belanjaan pembeli sembari mengikuti pembeli berbelanja dari satu tempat ke tempat lain.
Aktivitas itu bisa memakan waktu beberapa jam. Karena harus bekerja dalam waktu berjam-jam, buruh gendong di area pakaian bisa dibayar hingga Rp 100.000 per sekali angkut.
"Tapi, ya, tidak setiap hari bisa dapat bayaran sampai Rp 100.000 gitu. Ada juga buruh gendong (di area pakaian) yang cuma dibayar Rp 5.000 setelah ngikuli pembeli ke sana kemari," ungkap Isah yang merupakan Ketua II Paguyuban Buruh Gendong Sayuk Rukun Pasar Beringharjo.
Risiko pekerjaan tinggi
Selain penghasilan yang tak menentu, bekerja sebagai buruh gendong juga jauh dari kata aman.
Pada Oktober 2022, Sutinah terpeleset di Pasar Beringharjo. Ia pun menunjukkan codet di pergelangan tangan kirinya
Saat terpeleset, Sutinah tidak sedang menggendong barang. Akan tetapi, peristiwa itu membuat pergelangan tangannya mengalami patah tulang dan meninggalkan bekas luka.
"Gara-gara patah tulang itu, saya harus libur kerja empat bulan. Baru setengah bulan ini kerja lagi," ujar Sutinah.
Untungnya, untuk pengobatan dan operasi patah tulang itu, Sutinah tak harus mengeluarkan biaya pribadi.
Sebab, perempuan asal Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DlY), itu sudah terdaftar sebagai peserta Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Terpeleset di pasar juga pernah dialami Isah. Beberapa bulan lalu, dia terpeleset saat menggendong karung kacang hijau seberat 50 kilogram di Pasar Beringharjo.
Akibat dari kejadian itu, tempurung lutut Isah bergeser sampai tidak bisa ditekuk.
''Waktu itu, kaki saya sempat enggak bisa ditekuk. Tapi, setelah dibawa ke tukang pijat, alhamdulillah bisa sembuh," ucapnya.
Tak lama setelah kejadian tersebut, Isah langsung bekerja kembali demi mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Penghasilan yang tak menentu dan cedera karena terpeleset hanya segelintir masalah yang dialami buruh gendong di DIY dalam mencari uang yang halal.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/03/14/06100041/balada-buruh-gendong-pasar-beringharjo-penghasilan-tak-menentu-dan-risiko