TANGERANG, KOMPAS.com - Matahari sudah mulai terbenam. Rudi (32) duduk termenung menunggu antrean bongkar muat angkutan buah dan sayur di Pasar Induk Tanah Tinggi, Kota Tangerang.
Rudi adalah salah satu kuli panggul di pasar induk terbesar di Kota Tangerang itu.
Sudah kurang lebih 15 tahun ia bekerja sebagai kuli panggul di sana.
Ia rela merantau dari kampungnya di Rembang, Jawa Tengah demi mengais rezeki sebagai kuli panggul di sana.
"Udah lama di sini (jadi kuli panggul di Pasar Induk Tanah Tinggi), diajak tetangga, tetangganya saja sudah meninggal sekarang," ujar Rudi sembari sesekali mengisap rokoknya, Selasa.
Kuli panggul atau bongkar muatan angkutan buah dan sayur di Pasar Induk Tanah Tinggi itu terbagi menjadi dua shift.
Bagi mereka yang mendapatkan giliran shift siang, maka bisa bekerja dari sekitar pukul 05.00 WIB hingga 17.00 WIB.
Sementara, bagi mereka yang mendapatkan giliran shift malam, maka bisa bekerja dari pukul 17.00 WIB sampai pukul 05.00 WIB.
Setiap kuli panggul tidak boleh mengambil shift kerja di luar dari jatah kerja mereka.
Jika sudah dapat kerja shift malam, maka seterusnya akan selalu shift malam, dan tidak boleh mengambil dua shift.
Rudi sendiri mendapatkan jatah kerja sebagai kuli panggul di malam hari.
Saat petang, ia akan berada di Pasar Induk tersebut sampai pulang di pagi harinya.
Kuli panggul di Pasar Induk Tanah Tinggi Kota Tangerang itu biasanya akan antre dalam kelompok-kelompok kecil.
Ada sekitar 20 orang dalam sebuah kelompok. Antrean itu dimaksudkan agar setiap orang yang bekerja hari itu bisa mendapatkan jatah untuk bongkar muat barang, dan mendapatkan upah.
Dalam sehari, Rudi bisa melakukan bongkar muat buah maupun sayur empat kali.
"Kalau lagi ramai bisa 3-4 kali lah, tergantung situasi," ujarnya.
Upah yang diberikan pun beragam tergantung jenis muatan barang yang dibongkar oleh mereka.
"Ya biasanya bisa sekali bongkar itu Rp 300.000 bagi dua sama teman yang bongkar," kata dia.
Namun, upah yang didapat beragam tergantung dengan jenis angkutannya.
Ada jenis angkutan buah atau sayur dengan truk L300, angkle, dan ada pula truk besar.
"Sehari ya dapatnya tergantung, bongkarnya berapa," kata dia.
Penghasilan yang didapatkan itu akan dipergunakan Rudi untuk kebutuhan pokoknya sehari-hari, membayar uang sewa kontrakan sekitar Rp 700.000 per bulan di daerah Kelurahan Poris, dan sebisanya mengirim uang kepada orangtua beserta adiknya yang masih sekolah menengah pertama di kampung halaman.
"Ya dicukup-cukupin, mereka (menunjuk teman-temannya) yang udah berkeluarga aja cukup, aku yang masih sendiri ya dicukup-cukupin hasilnya (uang upah bongkar muat barang)," jelasnya.
Meski sudah belasan tahun bekerja sebagai kuli panggul di tanah rantau, tetapi bagi dia, pekerjaan ini lebih baik daripada bekerja di kampung halamannya.
"Yo ketimbang di kampung enggak ada apa-apa kerjanya," kata dia.
Rudi menyebut, ia merantau ke daerah Kota Tangerang ini sejak remaja, bahkan saat belum menyelesaikan pendidikannya di SMA.
Ia pun tidak merasa kesepian meski sendiri jauh dari orangtua dan adik beserta kakaknya di kampung halaman karena dikelilingi oleh orang-orang yang sama-sama dari rantauan.
"Wong di sini banyak juga dari sana (daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan sekitarnya), rame kok," ujarnya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/03/15/09593571/kisah-rudi-kuli-panggul-di-pasar-induk-tanah-tinggi-rutin-kirim-uang-ke