JAKARTA, KOMPAS.com - Inspektur Jenderal Teddy Minahasa hanya diam seribu bahasa saat mendengar pembacaan tuntutan pidana mati yang disampaikan jaksa penuntut umum (JPU).
Teddy duduk sebagai terdakwa kasus peredaran narkotika jenis sabu dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Kamis (30/3/2023).
"Menjatuhkan terhadap terdakwa Teddy Minahasa Putra bin H Abu Bakar (almarhum) dengan pidana mati dengan perintah terdakwa tetap ditahan," ucap Jaksa saat itu.
Teddy didakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 114 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juncto Pasal 55 Ayat (1) ke- 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Teddy ditangkap penyidik pada 24 Oktober 2022. Dia juga disebut menerima uang hasil penjualan sabu senilai 27.300 dollar Singapura atau Rp 300 juta dari eks Kapolres Bukittinggi, AKBP Dody Prawiranegara.
Teddy Minahasa melambaikan tangan dan tersenyum usai dituntut mati oleh jaksa penuntut umum (JPU). Setelah mendengar majelis hakim menutup sidang, Teddy langsung berdiri.
Dia bergegas menghampiri pemimpin tim penasihat hukumnya, Hotman Paris Hutapea. Keduanya pun tampak bersalaman dan berbincang.
Tak ada yang meringankan tuntutan
Jaksa menyatakan terdakwa Teddy Minahasa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Jaksa menilai, tak ada hal yang bisa meringankan tuntutan Teddy.
Sebaliknya, jaksa membeberkan apa saja yang memberatkan hukuman jenderal bintang dua tersebut. Teddy dianggap menikmati keuntungan dari hasil penjualan narkotika jenis sabu.
Padahal, ucap Jaksa, sebagai seorang penegak hukum seharusnya Teddy menjadi garda terdepan dalam memberantas peredaran gelap narkotika.
Namun, perbuatan Teddy justru tidak mencerminkan seorang aparat penegak hukum yang baik dan mengayomi masyarakat.
Ia juga merusak kepercayaan publik kepada institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Terlebih, Teddy juga tidak mengakui perbuatannya.
"Terdakwa menyangkal dari perbuatannya dan berbelit-belit dalam memberikan keterangan," tutur jaksa.
Dianggap lakukan kejahatan serius yang sempurna
Jaksa menyebut perbuatan Teddy Minahasa dalam pusaran peredaran narkoba sebagai serious crime atau kejahatan serius yang sempurna.
Adapun peredaran sabu itu dilakukan Teddy bersama dengan eks Kapolres Bukittinggi Ajun Komisaris Besar (AKBP) Dody Prawiranegara dan Linda Pujiastuti alias Anita.
Jaksa menilai peredaran sabu itu dilakukan dengan modus operandi yang canggih, di mana para pelaku tidak mesti bertemu fisik.
Teddy dan para anak buahnya juga menggunakan kode atau bahasa sandi melalui ponsel yang hanya dipahami oleh terdakwa.
"Seperti kata sandi sembako, invoice, galon, cari lawan, mainkan saja, dan singgalang satu," ungkap Jaksa.
Rangkaian perbuatan yang dipandang sebagai kejahatan yang sangat serius ini bermula ketika Teddy menukar, menawarkan untuk dijual, menjadi perantara dalam jual beli, menyerahkan, menjual yang dilakukan tanpa hak.
Menurut jaksa dalam dakwaannya, Teddy terbukti bekerja sama dengan Dody, Syamsul Maarif, dan Linda untuk menawarkan, membeli, menjual, dan menjadi perantara penyebaran narkotika.
Narkotika yang dijual itu merupakan hasil penyelundupan barang sitaan seberat lebih dari 5 kilogram. Teddy meminta Dody mengambil sabu itu lalu menggantinya dengan tawas.
Awalnya, Dody sempat menolak. Namun, pada akhirnya Dody menyanggupi permintaan Teddy. Dody kemudian memberikan sabu tersebut kepada Linda.
Setelah itu, Linda menyerahkan sabu tersebut kepada Kasranto untuk kemudian dijual kepada bandar narkoba. Total, ada 11 orang yang diduga terlibat dalam peredaran narkoba ini, termasuk Teddy Minahasa.
Sementara itu, 10 orang lainnya adalah Hendra, Aril Firmansyah, Aipda Achmad Darmawan, Mai Siska, Kompol Kasranto, Aiptu Janto Situmorang, Linda Pujiastuti, Syamsul Ma'arif, Muhamad Nasir, dan AKBP Dody Prawiranegara.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/03/31/06171261/tuntutan-mati-untuk-teddy-minahasa-sang-jenderal-yang-tak-akui-kesalahan