JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta Ismail meminta skema pengaturan jam kerja untuk mengatasi kemacetan di Ibu Kota agar diujicobakan terlebih dahulu.
"Sebagai alternatif atau solusi (mengatasi kemacetan), ini (pengaturan jam kerja) sah-sah saja. Tapi, tidak langsung dieksekusi, memang harus diujicobakan," ucap dia melalui sambungan telepon, Kamis (11/5/2023).
Uji coba, kata Ismail, dapat dilakukan saat skema pengaturan jam kerja sudah hampir matang.
Menurut politisi PKS itu, uji coba harus dilakukan karena ada dua hal yang menjadi catatan pada skema pengaturan jam kerja.
Pertama, interval waktu masuk kerja yang direncanakan apakah memang efektif mengurai kemacetan.
Waktu masuk kerja berdasarkan rencana, yakni pukul 08.00 WIB dan 10.00 WIB.
"Terkait dengan interval waktu (masuk kerja), itu harus memperhatikan apakah efektif mengurai kemacetan atau tidak signifikan," ucap Ismail.
Catatan kedua adalah keterlambatan produktivitas kantor yang kemungkinan besar terjadi karena perbedaan jam kerja.
Sebab, bisa jadi pekerja di departemen A yang masuk pukul 08.00 WIB membutuhkan kehadiran pekerja di departemen B yang masuk pukul 10.00 WIB.
Oleh karena itu, Ismail menekankan, Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta selaku pemegang wewenang pengaturan jam kerja, perlu mematangkan program tersebut.
"Dua hal ini perlu dikaji benar-benar sebelum diterapkan. Tapi, ini sebagai sebuah usulan layak didukung untuk dimatangkan dulu kajianya, jangan kemudian langsung diterapkan," tegas Ismail.
Untuk diketahui, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menginginkan pengaturan jam kerja dibagi menjadi dua sesi, yakni pukul 08.00 WIB dan pukul 10.00 WIB.
Rencana jam kerja yang dibagi dua ini lantas menimbulkan respons beragam dari warga Ibu Kota.
Ajeng (25), karyawati yang bekerja di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, berpendapat strategi pengaturan jam kerja tersebut tidak berpengaruh untuk mengurangi beban kemacetan di Jakarta.
Menurut dia, penumpukan kendaraan di jalan akan tetap terjadi, sekalipun jam kerja dibagi menjadi dua sesi.
Katanya, faktor utama pada masalah kemacetan adalah transportasi umum yang masih kurang memadai.
Hal itu ia buktikan ketika berangkat kerja menggunakan moda transportasi umum.
Menurut Ajeng, bus transjakarta kerap telat tiba di halte. Akibatnya, ia pun beberapa kali terlambat bekerja.
"Karena (bus transjakarta terjebak) kemacetan, menurut saya, itu dari transportasi umum yang kurang memadai, makanya banyak yang pakai kendaraan pribadi, termasuk saya (pada akhirnya)," jelas dia, Selasa (9/5/2023).
Ia mengatakan, jika moda transportasi umum dapat dimaksimalkan, masalah kemacetan akan terurai perlahan.
Senada dengan Ajeng, warga Jakarta bernama Adam (26) juga mengatakan hal yang sama.
Menurut Adam, kemacetan tetap terjadi dan hanya akan bergeser waktunya saja.
Adam mengatakan, seharusnya pihak terkait mengatur penggunaan kendaraan pribadi yang ada di Jakarta agar masyarakat beralih naik kendaraan umum saat berangkat kerja.
"Harusnya yang diatur itu penggunaan kendaraan pribadi, bukan penerapan waktu kerja," terang dia.
Demikian juga dengan Arvin (30). Dia tidak setuju dengan penerapan pembagian waktu kerja yang digadang dapat mengurangi kemacetan.
"Mungkin bisa mengurangi kemacetan sedikit, tapi menurut saya mungkin tidak terlalu berpengaruh," ujar Arvin.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/05/11/15183301/komisi-b-minta-pengaturan-jam-kerja-guna-atasi-macet-diuji-coba-terlebih